A.
PENDAHULUAN
Pendidikan
bukanlah sebuah kata yang asing. Setiap manusia tidak bisa lepas dari kata
pendidikan. Pendidikan sudah ada sejak manusia ada di muka bumi ini. Pendidikan
bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan bayi yang masih ada di kandungan
pun mulai mengenal pendidikan dari ibunya walaupun tidak langsung. Bahkan
mungkin kalau manusia bisa, binatang pun mengenal kata pendidikan. Walaupun
kata pendidikan sangat dekat dengan kehidupan manusia, tetapi apa sebenarnya
pendidikan itu? Apa hakekat dari pendidikan yang sesungguhnya? Apakah
pendidikan hanya bisa dilakukan di sekolah-sekolah? Pertanyaan-pertanyaan
itulah yang mengusik penulis untuk menemukan jawabannya karena penulis juga
terlibat langsung dalam dunia pendidikan.
Pendidikan
merupakan kata benda yang berasal dari kata dasar “didik” yang merupakan sebuah
kata kerja, kemudian mendapat awalan pe-
dan akhiran –an yang kemudian berubah
fungsi menjadi kata benda. Pendidikan sendiri
adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan
(http://definisimu.blogspot.com). Jadi dalam hal ini definisi pendidikan dilakukan
dengan sebuah proses pengajaran dan pelatihan. Proses pengajaran dan pelatihan
itulah yang diharpakan akan mampu mengubah seseorang menjadi lebih baik dari
sebelum mengalami proses pendidikan.
Bicara masalah pendidikan rasanya
kurang lengkap apabila melupakan Bapak Pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantara
(1889 – 1959). Beliau mendifinisikan
pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan
bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan
masyarakatnya. Jadi, menurut Beliau pendidikan tidak hanya peningkatan kognitif
tetapi juga afektif dan psikomotorik.
Pentingnya pendidikan dalam
kehidupan manusia memacu UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural
Organization) sebagai lembaga pendidikan dunia untuk
mencanangkan 4 (empat) pilar pendidikan, yaitu (1) Learning to know, (2) Learning to do, (3) Learning to
live together, dan (4) Learning to be.
Keempat pilar pendidikan tersebut kemudian dijadikan patokan pelaksanaan
pendidikan di seluruh dunia termasuk Indonesia.
B.
PEMBAHASAN
Empat
pilar pendidikan menurut UNESCO mengandung makna mendalam bagi pemangku
kepentingan pendidikan. Keempat pilar tersebut menjadi tujuan pelaksanaan
pendidikan yang lebih luas. Sayangnya belum semua orang memahami makna dari
keempat pilar pendidikan tersebut. Berikut ini akan dijelaskan makna dari
masing-masing pilar pendidikan menurut UNESCO tersebut.
1.
Learning to know
(Belajar untuk tahu)
Learning
to know ini memiliki pengertian orang belajar agar menjadi tahu. Dengan kata
lain, dari tidak mengetahui setelah dididik dan diajari menjadi tahu.
Pendidikan ini sudah dilakukan di lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga.
Masih ingatkah ketika seorang anak kecil belajar berjalan? Dengan bimbingan dan
pelatihan yang dilakukan dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, akhirnya anak
tersebut bisa berjalan. Belajar yang lain misalnya belajar berbicara, makan,
mengendarai sepeda dan lain-lainnya yang sebelumnya selalu dilakukan oleh orang
tuanya tetapi lambat laun bisa melakukannya sendiri karena belajar dan dididik
oleh orang tuanya. Begitu juga seorang anak akan belajar untuk bicara lebih
sopan dan halus kepada orang tuanya dan orang lain karena dia belajar dan
dididik bahwa bicara tidak sopan itu tidak baik untuk dilakukan.
Pengertian
learning to know kemudian berkembang
seiring perkembangan usia anak. Ada saatnya seorang anak harus terlepas dari
orang tua untuk belajar di lembaga-lembaga pendidikan resmi seperti di
sekolah-sekolah. Tetapi bukan berarti peran orang tua berhenti ketika anak
mereka mulai mengenyam dunia pendidikan di sekolah. Hanya saja peran mereka
sebagai pendidik di lingkungan keluarga akan dibantu oleh orang lain di lembaga
pemdidikan yang mungkin tidak bisa mereka lakukan di rumahnya sendiri. Karena
itu dalam pendidikan di sekolah ini peran guru sebagai pendidik sangat penting.
Gurulah yang akan mengajarkan berbagai ilmu kepada anak bangsa, sehingga mereka
menjadi tahu banyak. Penulis sangat ingat ketika dahulu memasuki SMP sangat
takut dengan Bahasa Inggris. Maklum saja karena di SMP lah penulis belajar
Bahasa Inggris untuk pertama kalinya. Dari guru Bahasa Inggrislah kemudian
penulis tahu bahasa Inggris dari sebelumnya yang tidak tahu apa-apa tentang
bahasa Inggris.
Dari
pengalaman penulis tersebut peran guru sangatlah kompleks demi tercapainya
tujuan pendidikan. Guru tidak hanya sebagai pendidik tetapi guru juga berperan
sebagai sumber belajar bagi para siswanya, sebagai fasilitator yang siap
memberikan pelayanan kepada siswa dalam proses pembelajaran, sebagai pengelola
yang mampu menciptakan iklim blajar yang memungkinkan siswa dapat
belajar secara nyaman, sebagai demonstrator yang berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala sesuatu
yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang
disampaikan, sebagai pembimbing, sebagai mediator yang
harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan media
dengan baik, serta sebagai evaluator untuk
mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan,
penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan/ keefektifan metode
mengajar (http://gears99.blogspot.com).
Dari uraian di atas bisa dikatakan
bahwa learning to know dalam
prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus
mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupannya. Seorang anak yang
berhasil dalam belajarnya akan menerapkan yang baik dalam kehidupannya dan akan
meninggalkan atau tidak melakukan apa yang diketahuinya tetapi tidak baik untuk
dirinya.
2.
Learning to do (Belajar
berkarya)
Konsep learning to do menyiratkan bahwa siswa dilatih untuk sadar dan
mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik (http://irsyakhafid.wordpress.com).
Konsep ini berkaitan erat dengan learning
to know karena dari apa yang dipelajari dan diketahui itulah yang akan
digunakan untuk berbuat dalam masyarakat luas.
Dalam konsep komisi Unesco, belajar berkarya ini mempunyai makna khusus,
yaitu dalam kaitan dengan vokasional. Belajar berkarya adalah balajar atau
berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Sejalan dengan tuntutan
perkembangan industri dan perusahaan, maka keterampilan dan kompetisi kerja
ini, juga berkembang semakin tinggi, tidak hanya pada tingkat keterampilan,
kompetensi teknis atau operasional, tetapi sampai dengan kompetensi
profesional. Karena tuntutan pekerjaan di dunia industri dan perusahaan terus
meningkat, individu yang akan memasuki dan/atau telah masuk di dunia industri
dan perusahaan perlu terus bekarya. Mereka harus mampu doing much (berusaha berkarya banyak). Dengan kata lain, belajar
berkarya atau learning to do
merupakan aplikasi nyata dari apa yang diperoleh dalam proses learning to know yang didapat dari
sekolah atau pelatihan. Seorang siswa yang memperoleh pengetahuan tetapi tidak
menggunakannya untuk berkarya dalam masyarakat yang lebih luas, akan sia-sialah
pengetahuan yang diperolehnya.
3.
Learning to live together (Belajar
hidup bersama)
Akhir-akhir ini
kekerasan terjadi di mana-mana. Sekelompok siswa terlibat tawuran pelajar
dengan siswa dari sekolah yang lain, masyarakat terlibat baku hantam dengan
masyrakat yang lain hanya karena perbedaan agama, ras, dan warna kulit, bahkan
sampai menimbulkan korban jiwa. Kalau dipikir, mengapa hal ini bisa terjadi?
Apaka hanya karena perbedaan warna kulit, agama, suku bangsa akan menghancurkan
bangsa ini?
Tidak bisa dipungkiri bahwa
perbedaan selalu ada di setiap tempat. Manusia perlu menyadari bahwa hakekat
hidup adalah berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat luas. Merupakan
impian yang tidak mungkin terwujud dan mustahil apabila manusia mengharapkan
berinteraksi dengan satu jenis kelompok saja karena Tuhan memang menciptakan
manusia dalam keanekaragaman. Akan tetapi keanekaragaman itu seharusnya tidak dijadikan
alasan untuk saling menyalahkan sehingga timbul pertengkaran. Keanekaragaman
itu tercipta dengan satu tujuan yaitu agar manusia bisa menghargai
keanekargaman tersebut sehingga bisa hidup dengan rukun dan damai.
Konsep learning to live together yang dicanangkan oleh UNESCO sangat pas
untuk masyarakat sekarang ini, dimana pertengkaran dan peperangan antar rasa
atau suku agama marak di mana-mana. UNESCO sebagai lembaga pendidikan dunia
merupakan salah satu organisasi yang ikut bertanggung jawab terhadap
keberhasilan pendidikan di seluruh masyarakat dunia. Keberhasilan pendidikan
yang tidak hanya dilihat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi
juga dari kecerdasan masyarakat dunia untuk bisa hidup dengan rukun dan damai
di tengah-tengah perbedaan. Alangkah indahnya dunia ini apabila orang saling
menghargai perbedaan yang ada di lingkungan mereka. Inilah intisari dari konsep
learning to live together yang
menginginkan manusia untuk saling menghargai perbedaan sehingga bisa tercapai
kehidupan yang rukun, aman, dan damai.
4.
Learning to be (Belajar
untuk menjadi diri sendiri)
Dalam
sebuah kesempatan, biasanya setelah tes atau ulangan, kadang secara tidak
sengaja penulis mendengar percakapan siswanya yang mengatakan,”Untung tadi pas
aku nyontek tidak ketahuan oleh pengawas”. Di kesempatan lain penulis juga
mendengar, “Kasihan si A ketahuan nyontek sama pengawas sampai kertasnya
diambil”. Bahkan pernah penulis mendengar pengakuan langsung dari siswa SMA
yang mengungkapkan keterlibatannya dalam menodai Ujian Nasional dengan saling
tukar jawaban melalui HP. Yang membuat penulis gemes adalah peristiwa itu terjadi tidak hanya lintas ruang ujian
tetapi bahkan sampai lintas sekolah. Pada
saat itu penulis hanya berpikir bahwa anak-anak sekarang kurang percaya pada
kemampuan dirinya sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi? Kalau siswa sudah
belajar dan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan, hal ini tidak perlu
terjadi.
Konsep learning to be berarti proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Untuk
mendapatkan jati diri penguasaan pengetahuan dan keterampilan memang sangat
dibutuhkan. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di
masyarakat merupakan salah satu proses pencapaian aktualisasi diri sendiri.
Misalnya, dalam kasus siswa yang nyontek tersebut, dia sudah tahu bahwa salah
satu norma atau aturan yang berlaku dalam tes tersebut adalah dilarang nyontek.
Kalau masih terdapat siswa yang nyontek berarti dia belum belajar untuk menjadi
diri sendiri. Dalam kasus ini peran guru sangat penting untuk memberikan
pemahaman kepada siswa tersebut tentang pentingnya aktualisasi diri untuk
menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi orang lain. Gurulah yang berperan
sebagai fasilitator agar siswa menyadari bakat, minat dan kemampuan mereka
sehingga mereka bisa menjadi diri sendiri tanpa harus bergantung dengan orang
lain lagi.
PENUTUP
Pilar
pendidikan menurut UNESCO tersebut terasa sangat pas untuk mewujudkan tujuan
pendidikan yang sesungguhnya. Antara pilar yang satu dengan yang lainnya saling
berhubungan dan mendukung sehingga menjadi satu kesatuan. Apabila dipahami
dengan benar, pendidikan bukanlah sekedar mentransfer ilmu kepada siswa tetapi
juga bagaimana menerapkan ilmu tersebut untuk mengembangkan potensi dirinya
sehingga mampu hidup di lingkungan yang lebih luas dan beranekaragam.
Pendidikan
tersebut tidak bisa dipisahkan dari peran guru yang bukan hanya sebagai
pengajar tetapi juga sebagai pendidik. Mentransfer ilmu pengetahuan bisa
dilakukan oleh siapa saja. Akan tetapi mendidik memiliki makna yang lebih dalam
dari mengajar, dimana guru tidak hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan
tetapi juga menciptakan generasi penerus bangsa yang mandiri dan berhasil
mengaktualisasikan dirinya dalam masyarakat yang lebih luas. Hal ini tentu saja
dibutuhkan guru yang mumpuni dan
mengetahui jelas pilar-pilar pendidikan yang dicetuskan oleh UNESCO dan
menerapkannya dalam proses belajar mengajarnya.
Walaupun ke-empat pilar pendidikan yang
dicetuskan oleh UNESCO bagus dan diharapkan bisa memajukan pendidikan di
seluruh dunia termasuk Indonesia, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa untuk
melaksanakannya masih banyak kendala dan halangan. Guru merupakan salah satu
kendala untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang mulia tersebut. Di Indonesia,
terutama, masih banyak guru yang perlu ditingkatkan kompetensinya karena untuk
mencapai tujuan pendidikan tersebut diperlukan guru yang benar-benar handal.
Bagaimana mungkin tujuan pendidikan akan tercapai jika gurunya yang terlibat
langsung dalam usaha mencapai tujuan pendidikan masih guru asal-asalan?
Kendala
lain adalah fasilitas yang dibutuhkan dalam
proses belajar mengajar yang akan mendukung berhasilnya pendidikan. Di
negara-negara maju siswanya belajar dalam ruang kelas yang nyaman dengan jumlah
siswa yang terbatas, sarana prasarana tersedia lengkap. Tapi lihatlah di
Indonesia. Berapa anak yang terpaksa belajar di bawah pohon karena gedungnya
hampir roboh? Berapa anak yang tidak mengetahui apa itu internet? Bagaimanapun
juga fasilitas yang tersedia mendudkung tercapainya tujuan pendidikan.
Selain
itu pola pikir masyarakat tentang pendidikan yang berbeda juga merupakan
kendala. Di negara yang pendidikannya maju pola pikir masyarakat terhadap
pentingnya pendidikan tinggi, sehingga mereka bisa bekerjasama saling bahu membahu
demi mencapai tujuan pendidikan. Tetapi lihatlah masyarakat Indonesia. Apalagi
setelah pemerintah menyediakan dana BOS yang mewajibkan setiap siswanya bebas
dari pungutan apapun. Sekilas memang bagus karena memikirkan masyarakat yang
tidak mampu. Tetapi tahukah imbasnya terhadap pola pikir masyarakatnya? Berapa
orang tua yang salah tafsir terhadap program pemerintah sehingga menuntut
apa-apa gratis, bahkan sampai kepada siswanya. Lalu bagaimana dengan masyarakat
yang mampu? Adilkah bila mereka juga terbebas dari segala pungutan karena
mereka disamakan dengan keluarga yang tidak mampu? Apa kontribusi mereka
terhadap sekolah untuk mewujudkan tujuan pendidikan?
Bagaimanapun
bagusnya tujuan pendidikan, satu hal yang perlu diluruskan yaitu bahwa
pendidikan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab guru atau
lembaga tertentu tetapi masyrarakat pun mempunyai tanggung jawab yang sama.
Oleh karena itu sudah saatnya seluruh masyarakat bekerja bersama demi
tercapainya tujuan pendidikan seperti yang dicetuskan oleh UNESCO sebagai
lembaga pendidikan resmi tingkat dunia. Dengan menyadari pentingnya pendidikan
dan saling bekerja sama untuk mewujudkannya, bukan tidak mungkin tujuan mulia
dari pendidikan akan tercapai.
REFERENSI
http://irsyakhafid.wordpress.com/2011/12/17/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco-dan-5-pilar-pendidikan-di-indonesia/
;
http://rstdjogdja80.blogspot.com/2012/03/5-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html;
http://11093dinar.blogspot.com/2012/03/4-pilar-dalam-pendidikan-menurut-pbb.html;
http://dayanmaulana.blogspot.com/2010/06/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html;
http://musliadiuhamka.blogspot.com/2012/01/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html;
http://gears99.blogspot.com/2012/04/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html;
http://definisimu.blogspot.com/2012/07/definisi-pendidikan.html;
***yk-edu.org/
No comments:
Post a Comment