MEWUJUDKAN TARGET MDGs PENDIDIKAN
UNTUK KEMAJUAN PENDIDIKAN MASA DATANG
Atok Miftachul Hudha
The Millennium
Development Goals (MGDs) consist of quantitative objectives to be achieved
within a certain period of time, especially the issue of poverty reduction by
2015. These were drawn from the Millennium Declaration and Indonesia was one of
the 189 signatory countries in September 2000. Eight Millennium Development
Goals also explains the objectives of human development, which can also
directly impact the extreme poverty eradication. Each goal consist of the MDGs
targets that have a minimum limit of
achievement that must be met by Indonesia in 2015. One of target goals is
achieve universal primary education. In 2015, all Indonesian children both male
and female will be able to complete their primary education. The Indonesian
Government is committed to meet this target with the 9-year compulsory
education program. This policy has been proved to improve access to primary
education.
Pengantar
Harus jujur kita akui, bahwa standar sumber daya manusia
yang telah ditetapkan oleh Human Development Index (HDI) belum mampu kita capai. Sebab standar
pendidikan dan pembelajaran yang sedang kita kelola masih banyak yang
terkooptasi zaman feodal dan terbelenggu pada cara-cara tradisional dan
konvensional, Sementara itu, tuntutan jaman telah mengalami lompatan kompetensi
pendidikan berskala global. Dampak dari hal ini adalah stimulus dan respon
peserta didik terhadap pembentukan kompetensi peserta didik belum optimal,
karena kompetensi pendidik pun belum memenuhi standar profesional yang
diharapkan.
Keadaan yang tergambarkan ini
bukan hal baru, tetapi sudah terpola melalui kebijakan politik pemerintahan
sejak jaman Orde Lama, Orde Baru bahkan di Orde Reformasi ini. Pendidikan kita
(baca: Indonesia) masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi
materialisme-kapitalisme. Ideologi pendidikan yang demikian ini memang secara
teoritis tidak nampak, akan tetapi secara praktis merupakan realitas yang tidak
dapat dibantah lagi.
Materialisasi atau proses
menjadikan semua bernilai materi telah masuk di segala sendi sistem pendidikan
Indonesia, bahkan sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran,
pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga sudah masuk
pada atmosfir tujuan pendidikan itu sendiri. Apabila tujuan pendidikan sudah
mengarah kepada hal-hal demikian, yang bersifat materi, maka hasil besar dari
proses pendidikan yang diharapkan dapat menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
cerdas, kreatif, berakhlak tinggi, berdisiplin tinggi, memiliki tanggungjawab
yang tinggi, berjiwa nasionalisme tinggi, berinovasi untuk pengembangan bangsa
dan lainnya akan sangat sulit diharapkan.
Rancangan pendidikan
berkualitas telah banyak dibahas melalui berbagai sudut pandang. Hal ini
menandakan, bahwa pendidikan memiliki nilai kelenturan (flesibilitas) yang tinggi, dengan apapun pendekatan yang digunakan
untuk mengupas pendidikan tidak pernah mati dan berhenti dalam kebuntuan jalan,
selalu terkupas dan terbahas. Lebih-lebih jika aspek kualitas pendidikan, maka
yang dapat memberikan wacana, argumen, bahkan sampai dengan solusi sungguh luar
biasa, mulai dari anak didik, orang tua, masyarakat, pihak swasta, juga para ’civitas academica’, bahkan pemerintah pun
tidak ketinggalan. Walaupun secara kelembagaan terpisah, namun sejatinya ada
kekuatan besar yang dapat dikolaborasikan antara individu peserta didik, orang
tua, masyarakat, pihak swasta, stake holder, civitas academica dan juga pemerintah. Namun yang menjadi
permasalahannya sekarang adalah sudah berapa banyakkah anak-anak bangsa wajib
belajar yang telah terfasilitasi oleh negara dapat melanjutkan studinya sejak
pendidikan dasar hingga pendidikan menengah dalam batas wajib lejar 9 tahun?
Tentu jawabannya adalah masih banyak anak-anak bangsa yang belum dapat
mengenyam pendidikan sejak pendidikan dasar di berbagai daerah di seluruh
wilayah Indonesia.
Jika kita mengikuti alur
sejarah, maka di penghujung abad lalu Indonesia mengalami perubahan besar berupa
proses reformasi ekonomi dan demokratisasi dalam bidang politik dan tidak lama
setelah itu. Di tahun 2000, para
pemimpin dunia bertemu di New York untuk menandatangani “Deklarasi Milennium”
yang berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan
kemiskinan (poverty eradication). Komitmen tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target
yang dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Pencapaian sasaran
MDGs menjadi salah satu prioritas utama bangsa Indonesia yang tidak saja
menjadi tugas pemerintah semata tetapi juga merupakan tugas seluruh komponen
bangsa.
Target MDGs memuat
8 tujuan yang meliputi; 1) penanggulangan kemiskinan dan kelaparan, 2) mencapai
pendidikan dasar untuk semua, 3) kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, 4) mengurangi
angka kematian bayi, 5) meningkatkan kesehatan ibu, 6) melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit
menular lain, 7) memastikan kelestarian lingkungan
hidup, dan 8) kemitraan untuk pembangunan.
Dari ke delapan tujuan tersebut salah satu prioritas yang harus diangkat bagi
Indonesia adalah menuntaskan tercapainya target pendidikan dasar untuk semua
masyarakat Indonesia. Untuk itu, harus menjadi agenda prioritas bagi presiden
periode 2009-2014 dalam meletakkan dasar-dasar dan sistem yang benar, tepat,
proporsional dan menyeluruh (universal).
Pendidikan untuk
semua menjadi prioritas bagi bangsa Indonesia. Sebab partisipasi masyarakat
Indonesia yang memenuhi usia wajib belajar masih sangat rendah dan salah satu
variabel yang memengaruhinya adalah tingkat kemiskinan yang tinggi. Berdasar Gross
National Index (GNI) World pada tahun 2007,
Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara “berpenghasilan menengah”.
Itu terjadi karena penghitungannya berdasar dari nilai pasar total barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara
dalam periode tertentu. Sementara itu,
pada taun 2007 berpenghasilan $1.420
(setara dengan 1.077.000 per bulan). Ternyata,
Indonesia berada alam urutan ke-139 dari 209 negara di dunia.
Urutan ke-139 tersebut
seolah-olah mencerminkan bahwa Indonesia benar-benar merupakan sebuah negara
yang terbelakang. Namun jika melihat kenyataan di lapangan bahwa hampir semua remaja yang memasuki usia
dewasa telah melek huruf (paling tidak memiliki keterampilan dasar baca
tulis) adalah hal yang kontradiktif
dengan sebutan negara terbelakang tersebut. Hal yang harus dipahami adalah
dengan kedudukan ke-139 dari 209 negara dalam GNI tersebut tentu masih banyak
yang harus dilakukan.
Terkait dengan kemiskinan,
belum banyak kemajuan yang dicapai. Pada 2007 angka kemiskinan di Indonesia
16,6% masih lebih tinggi dibandingkan tahun 1990. Jika sekarang tahun 2009,
maka 6 tahun ke depan sangat banyak yang harus dilakukan. Sementara angka
partisipasi anak sekolah dasar menunjukkan peningkatan partisipasi, yaitu
94,7%. Namun bila dicermati secara mendalam, kondisi kemiskinan sebenarnya
tidak seburuk angka yang ditampilkan, sebaliknya kondisi pendidikan tidak
sebaik yang terungkap dalam angka tadi, artinya partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan masih menjadi target prioritas dalam MDGs di Indonesia.
Alasan Mewujudkan Pendidikan Dasar Untuk Semua
Proporsi Kelulusan Anak Pra Sekolah
Semakin Meningkat
Dalam hal pendidikan,
nampaknya Indonesia lebih berhasil, karena tujuan kedua dari MDGs ini adalah
memastikan bahwa semua anak menerima pendidikan, khususnya pendidikan dasar.
Angka partisipasi anak masuk pendidikan dasar secara nasional menunjukkan angka
94,7% tetapi perbedaan antar daerah masih cukup tinggi, misalnya yaitu untuk Kalimantan Tengah (96,0%) dan Papua (78,1%).
Di sisi lain kemajuan anak
Indonesia memperoleh pendidikan pra sekolah sekarang ini meningkat secara
signifikan. Hal ini ditunjukan dari hampir separuh anak usia pra sekolah
memperoleh Pendidikan Anak Usia Dini (PADU) dan sekitar separuhnya di Tempat
Pendidikan Al-Qur’an (TPA), sisanya di Taman Kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain
(Play Group) atau pusat penitipan
anak. Semua kegiatan tersebut jelas mendorong anak bersekolah dan mengembangkan otak mereka,
dan tentu saja hal ini akan mempermudah mereka saat memulai masuk sekolah
dasar.
Berdasarkan realitas di atas
dapat dipastikan bahwa motivasi, sarana dan prasarna, fasilitas serta kebijakan
yang pro rakyat menjadi harapan kita bersama. Itu penting agar partisipasi masyarakat
wajib belajar di jenjang pra sekolah ini
secara sungguh-sungguh merebut pendidikan selanjutnya di tingkat dasar.
Problem Jargon Sekolah Gratis
Pasal 31 (2) UUD 1945 hasil
amandemen menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”. Sedangkan dalam Pasal 34 (2) UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyatakan: ”Pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Nampaknya pasal 31 (2) UUD 1945 hasil
amandemen dan Pasal 34 (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 ini lebih cepat dimanfaatkan
oleh para kandidat calon wali kota/bupati/gubernur dalam Pilkada. Bahkan calon
presiden sekalipun untuk meraup suara pada saat Pilpres. Lihat saja, jargon sekolah gratis. Istilah sekolah gratis ini tidak pernah ada
dalam ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Jargon sekolah gratis
seolah-olah menjadi senjata ampuh untuk dapat menembus respon masyarakat tingkat
bawah dan menengah (yang banyak mengalami persoalan dengan biaya sekolah) untuk
memilih calon kandidat yang mengusung sekolah gratis jika “dirinya” terpilih.
Ada 2 (dua) penyikapan
masyarakat terhadap istilah sekolah gratis. Pertama,
kelompok masyarakat yang berpendapat dengan sekolah gratis berarti tidak ada
biaya papun yang harus diberikan kepada sekolah. Jika ada sekolah yang memungut
biaya dengan istilah apapun mereka menganggap bahwa itu pungutan itu liar. Jika
demikian terjadi, masyarakat berhak melaporkannya sebagai pungutan liar. Kedua, kelompok masyarakat praktisi
pendidikan yang berpendapat bahwa sekolah gratis sudah ada dari tahun 1945 dan
ada dalam UUD 1945 pada pasal 31 UUD 1945 (”….. pemerintah berkewajiban
menyelenggarkan pendidikan bagi warga negaranya”). Hal ini sudah berlangsung dari zaman Orde Lama
(Orla), bahwa sekolah sekolah (dasar) memang
gratis).
Pada tahun 1990 (di era Orde
Baru) muncul program Wajib Belajar (WAJAR) sembilan tahun meluncurkan program dengan menghilangkan sekolah bayar.
Tetapi diganti dengan Sumbangan Pembangunan dan Pendidikan (SPP) yang
ditentukan oleh sekolah masing-masing yang jumlahnya berbeda-beda. Sistem ini digunakan sampai reformasi terakhir
pada zaman pemerintahan presiden Megawati. Pada masa pemerintahan SBY-JK
sekolah mulai dari tingkat SD-SMP-SMA hingga PT memang ratis. Akan tetapi perlu
digaris bawahi bahwa ini bukanlah program Pemerintah Pusat tetapi kebijakan
dari Bupati, Wali Kota maupun Gubernur dari suatu propinsi. Contoh, di
Kabupaten MUBA Propinsi Sumatera Selatan sekolah gratis diperuntukkan dari
SD-SMP-SMA hingga PT.
Jargon sekolah gratis tidak
semuanya diterima dengan benar oleh masyarakat. Sehingga memunculkan berbagai
masalah tentang Sekolah Gratis itu di masyarakat. Implementasi sekolah gratis
hanya dapat dilaksanakan pada sekolah negeri dan tidak berlaku pada sekolah
swasta. Tetapi masyarakat luas telanjur memahami bahwa sekarang ini sekolah
gratis (swasta atau negeri).
Hal-hal yang muncul sebagai
masalah dari slogan sekolah gratis antara lain adalah;
1. Bagi Sekolah Negeri.
a. Sekolah tidak berani
memungut iuran apapun ke siswa.
b. Dana operasional
sekolah sangat limit meskipun ada dana BOS. Akibatnya, sekolah mengalami
keterbatasan dana. Bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengembangan dan
operasional sekolah.
c. Guru menjadi
‘menurun’ keativitasnya untuk
mengembangkan siswa. Ini disebabkan karena untuk mengembangkan siswa
membutuhkan sarana dan fasilitas serta dana dari sekolah sementara di sekolah
tidak lagi tersedia alokasi dana untuk hal tersebut.
d. Penggunaan Alat Tulis
Kantar (ATK) sangat dibatasi, bahkan kadang guru sendiri yang membeli ATK untuk
kepentingan sekolah. Misalnya, sekolah
tidak menyediakan spidol atau kertas bagi pembelajaran mata pelajaran tertentu
oleh guru saat mengajar di kelas, sehingga guru mengusahakan sendiri agar
Proses Belajar Mengajar (PBM) tetap terlaksanan dan tercapai sesuai Rencana
Program Pembelajaran (RPP)nya.
e. Sekolah tidak mampu
membayar gaji guru honorer karena tidak tersedia dana tambahan yang mencukupi
untuk membayar guru honorer yang selama ini berjalan.
2. Bagi Sekolah Swasta.
a. Orang tua siswa yang
belum paham tentang sekolah gratis menganggap, bahwa sekolah sekarang ini tidak
lagi perlu mengeluarkan uang, termasuk kewajiban iuran yang telah dibebankan
pada anaknya oleh sekolah, karena konsep gratis dimaksud telanjur diterima apa
adanya tanpa memilah bahwa kebijakan gratis adalah untuk sekolah negeri dan
tidak untuk sekolah swasta.
b. Sekolah swasta tidak menjadi harapan bagi
masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya, karena di negeri tidak membayar
sementara di swasta harus membayar. Hal ini menyebabkan sekolah swasta yang
membebani pembayaran bagi siswanya tidak dirujuk menjadi target pemilihan
sekolah, mereka cenderung ke sekolah negeri yang gratis.
c. Jika orang tua siswa
tidak mau membayar biaya atau iuran-iuran, maka guru-guru honorer ‘terancam’ tidak mendapat
gaji dan sekolah tidak dapat beroperasional
dan ‘terancam’ tutup.
d. Pemerintah tidak
campur tangan terhadap pengembangan dan kemunduran sekolah swasta.
Terhadap 2 (dua) fenomena
masalah di atas (dampak sekolah gratis pada sekolah negeri dan swasta) adalah
konsep sekolah gratis pun menjadi slogan yang berlebihan. Ketika para artis,
selebritis, dan dunia periklanan berlebihan mempromosikan sekolah gratis, dan
sama sekali tidak ada fragmen yang menjelaskan bahwa apa yang dimaksud sekolah
gratis. Keadaan demikian ini menyebabkan masyarakat luas semakin ‘termakan’
promosi tersebut. Jika sekolah sekarang memang benar-benar gratis, dan
masyarakat banyak yang terlanjur menyikapi bahwa gratis yang dimaksud adalah
benar-benar gratis alias tidak membayar
sepeserpun. Kalau sudah seperti ini berarti konsep sekolah gratis merupakan
kebijakan yang belum siap dan merupakan target MDGs yang harus diluruskan di
masyarakat.
Peningkatan Angka Partisipasi di SD dan SMP
Belum Merata
Sebagaimana disebutkan di
awal, bahwa partisipasi anak untuk sekolah di SD menunjukkan peningkatan yang diikuti pula oleh meningkatnya angka
partisipasi anak untuk sekolah di pendidikan menengah. Data BPS-Susenas (Biro Pusat Statistik- Survei
Sosial Ekonomi Nasional) sejak tahun 1992 hingga tahun 2007 menunjukkan, bahwa
mulai tahun 1992 terjadi peningkatan partisipasi anak usia sekolah untuk
belajar di jenajang pendidikan dasar dan menengah. Hal ini semakin meyakinkan
dalam memastikan, bahwa semua anak menerima pendidikan dasar. Angka nasional partisipasi
sekolah dari BPS-Susesenas tahun 2007 juga menjelaskan bahwa 94,7% anak yang masuk di sekolah dasar belum menggambarkan pemerataan di berbagai
wilayah. Artinya, masih ada wilayah di tanah air dengan angka partisipasi sekolah yang rendah,
sehingga menjadikan perbedaan partisipasi yang tinggi dengan daerah lain.
Sekadar contoh adalah angka partisipasi
di Kalimantan Tengah 96,0% sedangkan di Papua 78,1%. Angka ini jelas masih
menjadi agenda ke depan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengenyam
pendidikan dasar.
Di Indonesia, hanya 67% anak
yang mendaftar ke sekolah lanjutan pertama. Ini merupakan tantangan yang besar
mengingat pemerintah bertekad mencapai target yang lebih tinggi dari target
global MDGs. Target Indonesia adalah ”wajib belajar 9 tahun”, terdiri dari 6
tahun SD dan 3 tahun SMP, sementara target global MDGs yaitu pendidikan setara
6 tahun, dan target pencapaiannya adalah tahun 2008-2009. Apakah sudah
berhasil? Perlu evaluasi mendalam.
Angka Putus Sekolah Karena Kemiskinan
Hasil Sesenas yang dilakukan
oleh BPS pada tahun 2007 terhadap sampel rumah tangga menemukan, bahwa 37,2
juta penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Angka ini memberikan
arti, pencapaian MDGs Indonesia belum mengalami kemajuan berarti. Untuk
mengatasi kemiskinan, target MDGs yang ditetapkan adalah 7,5% berdasarkan
separuh angka kemiskinan tahun 1990 yan gberjumlah 15,1%. Sehingga jika
dibandingkan dengan tahun 1990, maka kondisi sekarang ini justri lebih parah.
Menyusul krisis moneter tahun 1998 kenaikan tajam angka kemiskinan menjadi
24,2%, namun sejak krisis moneter dapat diatasi secara signifikan. Angka
kemiskinan di Indonesia mengindikasikan menurun tetapi tahun 2006 menaik lagi
akibat banyak faktor diantaranya akibat melonjaknya harga-harga kebutuhan bahan
makanan dan bahan bakar minyak.
Tingginya angka kemiskinan
tahun 2007 (16,6%) yang lebih tinggi dibanding angka kemiskinan tahun 1990
(15,1%) ini bersifat nasional. Artinya
tidak menggambarkan situasi yang sama antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Hidup di wilayah perkotaan misalnya, membutuhkan biaya yang lebih tinggi
dibanding di pedesaan. Demikian juga hidup di pedesaan yang mudah akses
transportasinya lebih tinggi biaya yang dibutuhkan dibanding desa yang belum
terakses baik transportasinya. Angka kemiskinan di Jakarta hanya sekitar 4,6%,
sementara angka kemiskinan di Papua sekitar 40%.
Mencermati berbagai kecenderungan
akhir-akhir ini, seharusnya masih mungkin untuk mengurangi kemiskinan menjadi
7,5% pada 2015. Namun dengan indikator ”rasio kesenjangan kemiskinan (poverty gap ratio)” yang mengukur
perbedaan antar penghasilan rata-rata penduduk miskin dengan garis kemiskinan,
maka pada tahun 1990 rasio-nya adalah 2,7% dan 2,9% pada tahun 2007. Hal ini
menunjukkan bahwa situasi penduduk miskin belum banyak mengalami perubahan.
Indikator yang lebih sederhana adalah indikator penyebaran penghasilan. Total
jumlah konsumsi penduduk termiskin secara nasional adalah 20% dan hal inipun
belum banyak mengalami perubahan, sebab antar tahun 1990 dan 2006, angkanya
berada pada sekitar 9%.
Untuk memberikan jalan keluar
agar generasi muda memiliki penghasilan yang lebih baik di masa mendatang, maka
kunci utamanya adalah memberikan pendidikan yang lebih baik kepada mereka serta
diiringi kebijakan pemerintah yang mempertimbangkan dan memastikan tumbunya
ekonomi yang bermanfaat pada daerah dan penduduk termiskin. Pemerintah harus
memberikan perhatian lebih pada kawasan pedesaan, karena sekitar dua pertiga
dari rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian. Jika penghasilan orang
tuanya yang bekerja di sektor pertanian tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga sehari-hari, maka dapat dibayangkan bahwa anak-anaknya pasti
tidak memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studinya kejenjang sekolah yang
sesuai dengan usianya. Sebab tenaga anak dimanfaatkan oleh orang tuanya untuk
membantu orang tuanya bekerja mencari nafkah.
Idealisme Pendidikan
Idealisme pendidikan pada
prinsipnya memiliki sasaran dengan program yang jelas dan dapat direalisasi
melalui jalur pendidikan formal maupun informal. Realisasi jalur formal maupun
informal dalam konteks pendidikan jelas membawa bangsa Indonesia pada arah
pemenuhan SDM Indonesia yang mampu didayagunakan. Itu semua dilakukan agar
tercapai kompetensi tinggi meliputi kreatif,
inovatif, terampil, cerdas, bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, serta
cerdas dan mampu berkompetisi global.
Idealisme pendidikan sangat
diperlukan bagi bangsa Indonesia untuk mengejar segala ketertinggalan
diberbagai sektor dengan negara maju lain, termasuk dengan negara tetangga. Idealisme pendidikan yang dimaksud adalah
idealisme pendidikan yang harus mencerminkan tatanan kehidupan masyarakat yang
beradap, saling menjaga dan menghormati hak-hak asasi sesama manusia.
Mutu SDM Indonesia dan juga mutu
pendidikan di Indonesia sebagaimana terlihat dari indikator makro, yaitu
pencapaian Human Development Index (HDI) dan indikator mikro (kemampuan dalam
hal membaca dan menulis) kita masih berada pada peringkat 110 dari 177
negara di dunia. Bahkan peringkat
tersebut semakin menurun dari tahun-ketahun. Sebagaimana dinyatakan oleh Wika
Y. Ilham (2007:1) bahwa berdasarlkana laporan Human Developmen Report tahun
2005 oleh UNDP, HDI Indonesia kian
merosot sejak tahun 1997 (urutan
ke 99), tahun 2002 (urutan ke-102), dan ditahun 2004 (urutan 111). Dan berdasarkan
The World Economic Forum Swedia tahun 2000 daya saing Indonesia menempati
urutan ke 37 dari 57 negara di dunia. Sementara itu, berdasarkan Survei Political and Economic
Risk Consultant, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke 12 dari
12 negara di Asia. Ranking ini mengindikasikan bahwa bidang pendidikan di
Indonesia masih berpredikat sebagai follower
bukan sebagai leader.
Proses pendidikan adalah suatu
proses mendidik dan dididik. Ada proses belajar dan pembelajaran, sehingga
dalam pendidikan jelas terjadi proses pembentukan manusia yang lebih manusia
atau sering disebut proses pemanusiaan. Hal inilah yang menegaskan bahwa
pendidikan mempunyai sifat mendasar yang disebut humanism intelectual. Proses mendidik dan dididik merupakan
perbuatan yang bersifat mendasar (fundamental), karena di dalamnya terjadi proses
dan perbuatan yang mengubah serta menentukan jalan hidup manusia, baik dari
sisi pebelajar (peserta didik) dan pembelajar (pendidik). Dalam proses ini
seorang pembelajar (pendidik) berarti
orang yang membentuk sikap, kecerdasan dan kepribadian, dan pebelajar
(terdidik) adalah seorang yang dibentuk sikap, kecerdasan dan kepribadiannya
serta menerima pendidikan untuk tumbuh menjadi manusia seutuhnya.
Banyak idealisme pendidikan
yang menjadi pekerjaan rumah kita semua, terutama bagi presiden sebagai pemangku kebijakan nasional
untuk mewujudkan target MDGs pendidikan dasar untuk semua sehingga dapat
diwujudkan pada tahun 2015, antara lain:
Agenda penting itu diantaranya; (1) pendidikan
dan kompetensi pendidik, (2) profesionalisme pendidik, (3) manajemen finansial pendidikan dan manajemen sumber
daya manusia, (4) politik pendidikan, (5) paradigma pendidikan, (6) pengembangan
organisasi pendidikan, (7) penjaminan kualitas pendidikan, dan (8) pendidikan dan kesetaraan gender.
Usaha yang nampak serius dilakukan
pemerintah saat ini adalah meningkatkan kompetensi pendidik. Dalam Pasal 1 ayat 6 UU SISDIKNAS
menjabarkan kualifikasi pendidik adalah guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarkan pendidikan. Sebagai
usaha meningkatkan kualitas pendidikan sebagai instrumen mengukur kompetensi
guru dan dosen, misalnya, dikeluarkanlah
undang-undang guru dan dosen yang implementasinya adalah pelaksanaan
sertifikasi guru dan sertifikasi dosen.
Dalam konteks profesionalisme
pendidik yang terus dibutuhkan, Baedowi (2008) menyebutkan, bahwa pendidik
profesional adalah pendidik yang memiliki banyak kemampuan dalam; 1)
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil pembelajaran; 2) meningkatkan
kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan; 3) bertindak objektif
dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku,
ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status
sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; 4) menjunjung tinggi peraturan
perundang-undangan, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
5) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Kualifikasi kemampuan guru
sebagaimana disebutkan Baedowi (2008) di atas akan menjadi sinergi dan
mendukung peran guru sebagai pendidik apabila syarat-syarat sebagai guru
profesional yang baik dapat dipenuhi. Bebeberapa syarat profesionalisme
diantaranya; 1) berijazah; 2) sehat jasmani
dan rohani; 3) taqwa kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik; 4) bertanggungjawab;
5) berjiwa nasional (Ngalim Purwanto (2006:139-142).
Dalam hal manajemen finansial pendidikan,
program yang harus terus ditingkatkan dan dijaga kestabilitasiannya adalah
bagaiamana mengusahakan segala aktivitas organisasi pendidikan yang dapat terus
terpenuhi kebutuhan dananya serta ada kejelasan proses bagaimana memperoleh
dana dan mengelola aset sesuai dengan tingkat organisasi pendidikan secara
menyeluruh. Oleh karena itu, harus ada manajemen yang dilakukan sekolah
melakukan proses kegiatan dan penyelenggaraan pendidikan yang direncanakan dan
dilaksanakan secara sungguh-sunggu serta melakukan pembinaan menyeluruh secara
kontinyu terhadap biaya operasional sekolah. Sehingga kegiatan pendidikan lebih
efektif dan efesien serta membantu pencapaian tujuan pendidikan melalui
prosedur manajemen sekolah yang baik,
meliputi; pengelolaan dana
masukan, perencanaan anggaran (budgetting),
pelaksanaan proses (throw put), dan
hasil usaha (out put).
Terkait dengan manajemen
finansial pendidikan adalah manajemen SDM harus menjadi faktor penting dalam
suatu organisasi. Menurut Schuler dan Smart (1989) dalam Burhanuddin (2003)
menyatakan, bahwa manajemen sumber daya manusia yang harus diperhatikan adalah;
1) perencanaan kebutuhan sumber daya manusia, 2) pengadaan sumber daya manusia
dan staf, 3) penilaian dan kompensasi, 4) penilaian dan pengembangan, dan 5) penciptaan dan pembinaan hubungan kerja
yang efektif. Kelima fungsi manajemen SDM ini menjadi usaha sungguh-sungguh
bidang personalia yang harus dijalankan secara serius dan dikelola secara
efektif dan baik serta prosedural agar mencapai tujuan yang diharapkan.
Dalam hal politik pendidikan
terdapat benang merah yang menghubungkan antara politik dengan pendidikan,
karena hubungan keduanya bukan sekedar saling mempengaruhi tetapi juga memiliki
hubungan fungsional. Lembaga pendidikan menjadi tempat dimana setiapindividu,
terutama generasi muda mempelajari sikap dan perasaan tentang sistem politik
yang ada dan peran politik yang diharapkan dari mereka.
Bicara politik pendidikan,
maka politik pendidikan di Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Hal ini
bisa kita lihat dari komitmen pemerintah yang masih harus terus dipompa agar
terus meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan, dan MDGs pendidikan untuk
semua ini harus menjadi target dan prioritas. Rencana strategis (RENSTRA)
pemerintah terhadap pendidikan di tahun 2008-2009 terfokus pada tiga sasaran
pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu; 1) meningkatnya
perluasan dan pemerataan pendidikan, 2)
meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan, dan 3) meningkatnya tata
kepemerintahan (governance),
akuntabilitas dan pencitraan publik harus kita monitoring dan evaluasi.
Pertanyaan kita adalah sudah
seberapa jauh keberhasilan yang harus dicapai? Jika belum maka harus ada sistem
kontrol dan saluran komunikasi yang dapat diakses oleh masyarakat dan sampai
kepada pemerintah.
Upaya pemerintah untuk
merealisasikan politik pendidikan terus menerus dijalankan, akan tetapi
kebijakan dan praktek pendidikan di
lapangan masih jauh dari yang
diinginkan. Data Angka Partisipasi Murni (AMP) tahun 2008 menunjukkan, bahwa
AMP tingkat SD/MI mencapai 95%, SMP/MTs sebesar 71,83% sedangkan Angka
Partisipasi Kasar (APK) di tingkat SMA/MA/SMK tahun 2006 baru sebesar 55,22% dan APK Pendidikan Tinggi hanya mencapai
16,70%. Angka putus sekolah di tingkat
SD mencapai 2,9%, angka putus sekolah tingkat SMP 2,42%, SMA 3,06% dan PT 5,9%.
Tingginya angka buta huruf masyarakat Indonesia dari tercatat total sebanyak
211.063.000 penduduk 15,4 juta penduduk usia 15 tahun keatas masih buta huruf
dengan perbandingan 5,8% laki-laki dan 12,3% perempuan yang terdistribusi di perkotaan 4,9% dan
perdesaan 12,2%. Keadaan ini menggambarkan bahwa realitas politik pendidikan di
Indonesia belum merdeka dan tertinggal jauh dari tuntutan daya saing global.
Oleh karena itu politik pendidikan kita di masa yang akan datang harus mampu
memberikan harapan konkret atas kemajuan bangsa di masa depan.
Paradigma pendidikan di
Indonesia harus terus mengedepankan paradigma pendidikan yang baru, sebab
paradigma pendidikan lama mengedepankan pendidikan sebagai kebutuhan dan hak
dasar manusia, maka paradigma pendidikan yang modern sekarang ini (baru)
mengedepankan pendidikan sebagai kebutuhan investasi masa depan seseorang untuk
memperoleh kesejahteraan hidup.
Melalui pendidikan masa depan
bangsa, dapat dirancang sebaik mungkin dengan cara mempersiapkan SDM yang
berkualitas. Dengan dasar ini kita harus berusaha untuk; pertama,
mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu,
guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan,
cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggungjawab, berketerampilan serta menguasai
IPTEK dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia. Kedua,
meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai
pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan IPTEK, seni dan
budaya, sehingga membangkitkan semangat pro-aktif, kreatif, dan selalu kreatif
dalam seluruh komponen bangsa. Ketiga,
mengembangkan pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang dapat
mengembangkan harkat dan martabat manusia, dan mempersiapkan manusia menjadi
khalifah. Keempat, dalam menyongsong
berbagai kecenderungan yang aktual tidak ada alternatif lain selain perlu
penataan kembali terhadap dunia pendidikan sejak pendidikan tingkat dasar.
Pendidikan sebagai suatu
proses pembentukan pribadi peserta didik dilaksanakan secara sistematis dan
sistemik, dan sistematis. Sebab, sebuah
proses pendidikan berlangsung secara bertahap serta berkesinambungan
(prosedural) dan sistemik karena berlangsung dalam situasi dankondisi di semua
lingkungan baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, tantangan
yang harus dikerjakan dalam bidang pendidikan harus diupayakan terutama
meningkatkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia pada setiap jenjang dan
satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah serta mendorong
masyarakat untuk menyadari sepenuhnya bahwa pendidikan adalah kebutuhan
mendasar bagi setiap hidup insani. Jika hal ini berhasil, maka pemerintah melalui
kebijakan presiden secara bertahap akan dapat menuntaskan pendidikan untuk
semua.
Daftar Pustaka
Burhanuddin. Manajemen Sumber Daya Manusia-Manejemen
Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang. 2003.
Baedowi. Strategi Peningkatan Kualitas dan Kompetensi
Guru. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga
Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. 2008.
Huda, Atok Miftachul.
“Regulasi Collaborative Governance Menuju Pendidikan Yang Berkualitas. Jurnal
Ilmiah Bestari UMM edisi nomor
40/Th.XXII, Januari –April 2009.
__________________.
”Sekolah Gratis: Konsep Kebijakan Yang Belum Siap”. Makalah
Seminar. Malang: FKIP Universitas Muhammadiyah
Malang. 2009.
Karwono. ”Perlunya
Perubahan Paradigma Tentang Pendidikan”. http://karwono
-wordpress.com/2008/09/02/paradigma-baru-tentang-pembelajaran-dan-aplikasinya. diakses tanggal 20 Pebruari 2009, jam 18.30 WIB.
Purwanto, M. Ngalim. Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Penerbit. Rosdakarya. 2006.
Sirozi. M. Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan Antara
Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Penerbit
RajaGrafindo Persada. 2005.
Staker, Peter. ”Kita Suarakan Millennium Development Goals (MDGs) Demi Pencapaian
nya di Indonesia”. 2007.
Tinuk, Hariati. ”Meretas Jalan Menuju Masyarakat Madani
Melalui Idealisme Pendidikan”. Makalah
Seminar. Malang: MKPP Program Pasca Sarjana
UMM. 2009.
Veithzal Rivai.
Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta:
RajaGrafindo Persada. 2006.
Wika. Y. Ilham.
”Realita dan Idealisme Pendidikan Nasional”. Online. http://sciantiarum.com/2007/12/10/potret-pendidikan-nasional-realita-dan-idealisme,
diakses, 24 Pebruari 2009, jam 19.00 WIB.
Wahab Abdul Aziz. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan
Pendidikan. Bandung: Penerbit Alfabeta. 2008.
***http://ejournal.umm.ac.id/
No comments:
Post a Comment