Saturday, April 18, 2015

HUKUM ISLAM, TOKOH DAN TEORINYA

HUKUM ISLAM, TOKOH DAN TEORINYA
PADA MASA KEMUNDURAN
Sejarah perkembangan, pemikiran hukum Islam



A.    Pendahuluan
Hukum Islam disamping sarat akan muatan sosiologis tak dapat dipungkiri memiliki juga dimensi teologis dan inilah yang membedakan hukum Islam dengan hukum dalam terminologi ilmu hukum modern, akan tetapi penempatan cara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya bisa mengakibatkan anggapan bahwa hkum Islam merupakan aturan yang sakral, bahkan dalam keadaan tertentu orang akan merasa takut untuk melakukan revaluasi terhadap aturan-aturan hkum Islam yang ada, karena secara psikologis sudah terbebani oleh nilai-nilai kesakralan tersebut, untuk itu perlu kajian yang mampu mengantarkan pada cara pandang yang benar mengenai aspek teologis dalam hkum Islam ini. Dalam Perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosiokultural dan politik dimana mazhab hukum itu tumbuh dan berkembang.
Dalam paradigma usul fiqh klasik terdapat lima prinsip yang memungkinkan Hukum Islam bisa berkembang mengikuti masa: 1) Prinsip Ijma’; 2) Prinsip Qiyas; 3) Prinsip Maslahah Mursalah; 4) Prinsip memelihara Urf’; dan 5) berubahnya hukum dengan berubahnya masa. Kelima prinsip ini dengan jelas memperlihatkan betapa pleksibelnya hukum Islam. [1]
Dengan Berlalunya waktu, perkembangan Hukum Islam yang dinamis dan kreatif pada masa awal kemudian menjelma kedalam bentuk mazhab-mazhab atas inisiatif beberapa ahli hukum terkenal, tetapi dengan terjadinya kristalisasi mazhab-mazhab tersebut, hak untuk berijtihad mulai dibatasi dan pada gilirannya dinyatakan tertutup.[2]
Selanjutnya dalam makalah ini dibahas tentang hukum Islam pada masa kemunduran atau dikenal dengan istilah masa ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf  yakni periode kebekuan dan statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H)

B.    Situasi Umum Dunia Islam
Harun Nasution, menjelaskan bahwa Dunia Islam terbagi kepada dua bagian, yaitu Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusatnya. Pada waktu ini kebudayaan Persia mengambil bentuk Internasional dan mendesak kebudayaan lapangan kebudayaan Arab. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup semakin meluas dikalangan umat Islam. [3]
Ketika ajaran tarekat semakin merajalela dengan pengaruh negatifnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan sangat kurang sekali. Umat Islam di Sepanyol--yang tadinya merupakan satu kekuatan tersendiri--dipaksa masuk Kristen dan atau keluar dari darah itu. Di samping itu, kondisi dunia Islam semakin mengalami kemunduran, meskipun pada masa ini-- tahun 1500 – 1700--munculnya tiga kerajaan besar Islam dengan kemanjuannya masing-masing yaitu Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India.
Bersamaan dengan kenyataan ini penetrasi bangsa Barat dengan kekuatannya semakin meningkat dan meluas ke dunai Islam. Pada tahun 1798 M, Mesir sebagai pusat Islam terpenting berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, seorang jenderal Perancis yang memimpin pasukuannya menaklukan Mesir. Demikian pula, Inggeris telah mulai menanamkan kekuasaannya di India.[4] Sampai pada tingkat ini, umat Islam mengalami kemunduran yang paling buruk dalam sejarah perjalanannya. Paham keagamaan terpecah belah kepada beberapa mazhab dimana antara satu dengan yang lainnya saling mengklaim merekalah yang benar dan saling menyalahkan. Demikian juga kekuatan politik umat Islam semakin melemah dan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sudah jauh menurun. Akibatnya masyarakat menjadi jumud dan statis yang hanya menyerah kepada nasib.
Di Turki Asia berdiri sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Bani Saljuk dan pada akhirnya kerajaan ilmiah yang menghancurkan negeri Islam lainnya. Pada saat ini juga munculnya pemberontakan yang berasal dari keturunan Bani Hasim, dan kelompok ini dinamakan partai Alawiyah. Dengan munculnya kekerasan dan peperangan terus menerus membawa akibat yang tidak baik bagi umat Islam, mereka menjadi lemah untuk berbuat. Rasa putus asa muncul menyelimuti akibatnya kemunduran dan keterbelakanganlah karena pada masa itu para ulama tidak lagi mempelajari kitab-kitab tertentu yang diperlukan lain halnya dengan ulama-ulama terdahulu, mereka pergi kenegara-negara besar sehingga terwujud dan terjalin hubungan yanng harmonis antara ulama dan pemerintahannya.[5]
Siapapun yang mengamati kejadian dan sejarah Islam pada periode ini tentu melihat bahwa yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan politik yang menyebabkan negara Islam terpecah menjadi beberapa negara kecil. Dimana setiap negri mempunyai penguasaan sendiri yang diberi gelar Amirul Mukmin. Dari sini bisa dilihat lemahnya negara Islam ketika sudah terkena penyakit perpecahan mengganmtikan posisi persaudaraan dan keamanan, negara yang besar terbagi beberapa negara yang kecil. Di timur ada negara Sasai dengan Ibukota Bukhara, dan di Anfuleusia ada negara Letak yang didirikan oleh Abdurahman An-Nashir, demikian juga negara Fatimiyah yang ada di utara Afrika.
Pada masa kemunduan ini juga disebut periode penutup ijtihad atau periode tadwin (pembekuan), mula-mula dalam bidanag kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam fiqih-fiqih Islam. Pada umumnya ulama pada masa ini sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid sebagaimana yang dilakukan pendahulu mereka.
C.    Sebab-sebab kemunduran Pemikiran Hukum Islam
Dilihat dari segi sejarah pemikiran hukum Islam dan gerakan ijtihad, maka masa ini merupakan masa yang dipandang sebagai situasi yang tidak menguntungkan bagi umat Islam. Dikatakan demikian, karena pada masa ini kegiatan ijtihad sudah mulai menurun dan mengendur, dan bahkan statis. Kemunduran gerakan ijtihad pada masa ini lebih disebabkan oleh tiga faktor penting.
a.      Lahirnya Mazhab-mazhab fiqh, dimana pada awalnya memang menunjukkan semaraknya gerakan ijtihad,[6] tetapi pada akhirnya menimbulkan suasana atau citra yang tidak kondusif, sehingga terjadi perbedaan-perbedaan antar mazhab yang cenderung kontra produktif. Tidak jarang terjadi pertentangan antar mazhab, yang kadang-kadang membawa dampak negative dalam masyarakat (pengikut mazhab). Masyarakat terkotak-kotak ke dalam berbagai mazhab dan masing-masing mengkalaim mazhab merekalah yang benar dan menyalahkan yang lainnya.
b.      Menurunnya semangat ijtihad dan kuatnya pengaruh ajaran mazhab, sehingga para ulama tidak mau dan tidak sanggup melampaui ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh mazhab yang mereka anut. Parahnya lagi, di kalangan pengikut mazhab muncul sikap ta’asub mazhab dan taqlid. Akibatnya, para ualam yang ada disetiap mazhab menjadi tidak kreatif dan mandul. Suasana seperti inilah yang menyebabkan mundurnya gerakan ijtihad dan pemikiran dalam Islam. Pada waktu ini, kalaupun ada ijtihad yang dilakukan oleh ulama, namun tidak lebih dari sekedar mensyarah pemikiran-pemikiran imam-imam mazhab mereka dan mengintrodusir ajaran mazhab kepada masyarakat. Kemandirian ulama untuk melakukan ijtihad menjadi hilang, mereka hanya mengikuti apa yang ada dalam mazhab mereka. Disamping itu, di kalangan mazhab sendiri telah membuat berbagai macam persyaratan untuk dijadikan acuan dalam melakukan ijtihad. Persyaratan-persyaratan ijtihad itu, pada umumnya ditetapkan sangat ketat, sehingga dalam operasionalnya tidak gampang untuk dilakukan. Ketatnya persyaratan ijtihad ini, semula tujuannya adalah agar tidak muncul orang-orang yang tidak memiliki otoritas dalam melakukan ijtihad dan menganggap gampang ijtihad itu. Diakui bahwa ketika ini, memang ada semacam kecenderungan dari sebagian orang yang menggampangkan persoalan ijtihad ini, dan dapat dilakukan oleh semua orang. Melihat kecenderungan ini, ulama-ulama mazhab merasa khawatir jika ijtihad dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak memiliki persyaratan, maka akan menimbulkan malapetaka bagi umat Islam, sehingga akhirnya pintu ijtihad ditutup.
c.      Disintegrasi dan dominasi bangsa asing faktor yang paling parah yang menyebabkan kemunduran umat Islam ialah terjadinya disintegrasi dan perpecahan umat Islam. Seperti dijelaskan oleh Harun Nasution,[7] bahwa  pada fase ini keutuhan umat Islam dibidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah mulai menurun dan bahkan khilafah sebagai symbol dan lambing kesatuan Politik umat Islam menjadi hilang. Di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi semakin meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan.
D.    Tokoh-tokoh dan ajaran Hukum Islam masa kemunduran
Pada masa kemunduran pemikiran hukum Islam muncul tokoh-tokoh penting yang hidup pada zamannya dan mewarnai aktivitas pemikiran hukum Islam dengan dengan munculnya teori maqashid al-Syari’ah.   Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah sebagai alasan logis bagi rumusan, suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Kegiatan penelitian tujuan hukum (maqashid al-Syari’ah) telah dilakukan oleh para ahli ushul fikih terdahulu. Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli ushul fikih pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid aI-Syari’ah dalam menetapkah hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larang-laranganNya.
Kerangka berpikir al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan oleh muridnya al-Ghazali(450H./1058M.-505H./IIIIM.) dalam kitabnya Syifa al-Ghazali ia menjelaskan maksud syari’at dalam kaitannya dengan al-munasabat al-maslhahiyyat al-qiyas. Sebagai seorang pemikir Islam terbesar, A1-Ghazali, tidak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi juga di luar Islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik untuk-menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik dari kalangan Muslim, maupun dari kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.) [8]
Sebagai pemikir besar Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazali masih tetap menjadi warisan umat Islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruh Al-Ghazali tersebut dapat dilihat dan gelar hujjah al-Islam yang disandangnya. Berbagai pujian dilontarkan oleh penulis dan pemikir kepadanya, juga cercaan dan orang-orang yang tidak senang kepadanya. Semua itu merupakan bukti kebesaran nama seorang Al-Ghazali.[9]
Pada masa al-Ghazali, tidak saja terjadi disintegrasi umat Islam di bidang politik, melainkan juga di bidang sosial-keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam yang masing-masing tokoh ulamanya dengan sadar menanamkan fanatisrne golongan kepada umat. Sebenarnya tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa menanamkan pahamnya kepada rakyat dengan segala daya upaya, bahkan dengan cara kekerasan. Sebagai contoh, apa yang dilakukan oleh Al-Kundury, Perdana Menteri Dinasti Saljuk pertama yang beraliran Mu’tazilah sehingga mazhab dan aliran lainnya (seperti mazhab Syifi’i dan Asy’ari) menjadi tertekan, bahkan banyak korban dan tokoh-tokohya.
Akibat dari fanatisme golongan yang melibatkan pada masa itu, sering timbul konflik antara golongan mazhab dan aliran, malah meningkat sampai menjadi konflik fisik yang meminta korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antara berbagai mazhab dan aliran, masing-masing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, mayoritas penduduknya bermazhab Syafi’i, dan Transoxiana dan Balkah bermazhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan di Bagdad dan wilayah Iraq, mazhab Hambali lebih dominan.
Menelusuri tentang karya-karya Al-Ghazali, maka dia digolongkan cukup produktif dalam hal penulisan karya ilmiah, karena ia memiliki kecenderungan intelektual yang sangat luas (gemar akan ilmu pengetahuan), dia juga memiliki kemampuan menulis yang sangat tinggi, hal ini dibuktikan oleh al-Ghazali, menulis sejak umur 20 tahun.
Dari keterangan yang diperoleh, nampaknya memang wajar, jika dikatakan bahwa al-Ghazali merupakan salah seorang pemikir Islam yang memiliki kecenderungan intelektualitas yang tinggi, sebab ia masih relatif muda, dan tulisan pertamanya mendapat pujian dari gurunya al-Juwaini.
Tentang jumlah karangan al-Ghazali, sampai saat ini belum terdapat kata pasti. Besar kemungkinan disebabkan karena masih adanya karya-karya al-Ghazali yang belum diterbitkan dan masih dalam bentuk naskah yang tersimpan di perpustakaan, baik di negeri Arab maupun di Eropa. Sebab lain, karena sebahagian di antara karya-karyanya telah lenyap dibakar pada saat tentara Monggol berkuasa, juga sebahagian dibuang penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad ibn Hamdi.[10] Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang diragukan sebagai karya al-Ghazali, karya-karya yang mengatakan secara pasti buku al-Ghazali, sebanyak 31 buah.
Adapun landasan pemikiran Al-Ghazali, bahwa sebagai seorang muslim tetap mendasari pemikiran-pemikirannya kepada pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Di samping itu juga ia mempergunakan akal (al-ma’quI) sebagai landasan berpikirnya. Di dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, Al-Ghazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengan akal sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu.
Ketika Al-Ghazali membahas dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma’ ia menempuh 3 (tiga) jalan, sebagai berikut:
a.  Berpegang pada Al-Qur’an
b.  Berpegang pada pendapat Rasulullah Saw, bahwa umat tidak akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan)
c.  Berpegang teguh pada metode ma’nawy.
Dalam kitab al-Mustashfa, Al-Ghazali menyebutkan bahwa rukun Ijtihad ada tiga; Fi Nafs al-Ijtihadi, Al-Mujtahad, Al-Mujtahidu Fihi. Menurut al-Ghazali bahwa Ijtihad ialah menggambarkan sesuatu yang diperjuangkan dan menghabiskan usaha dalam sebuah aktifitas dan tidak bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban (kesulitan) secara menyeluruh.
Menurut al-Ghazali Orang yang berijtihad, mempunyai dua syarat, Pertama : mengetahui seluk-beluk syari’at, mana yang didahulukan dan mana yang wajib dikemudiankan.. Kedua : seseorang mujtahid harus adil dan menjauhi dosa, persyaratan inilah sebagai landasan dalam berfatwa, jika tidak adil, maka sama sekali tidak diterima fatwanya. Jadi keadilan seseorang mujtahid sebagai syarat sahnya ijtihad, juga selalu memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak dijadikan syarat seorang mujtahid bahwa dia harus mengetahui semua kitab yang berhubungan dengan hukum-hukum, tetapi mengetahui sekitar 500 ayat, juga tidak disyaratkan menghafalnya; tetapi mengetahui tempat ayat ketika dibutuhkan.
Adapun tentang hadis, harus mengetahui hadis-hadis yang terkait dengan hukum. Tidak diharuskan untuk menghafalnya, seperti Sunan Abu Daud, Sunan Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun ijma’ diharuskan menghafal semua kejadian ijma’ dan perbedaanperbedaannya, tetapi sebaliknya mengetahui fatwa-fatwa yang mana tidak bertentangan dengan ijma’
Al-Mujtahidu Fihi, atau persoalan Ijtihad ini sendiri, di sini dijelaskan bahwa semua hukum agama yang tidak mempunyai dalil-dalil qathy, bahkan ada pendapat (secara dzanni) bahwa syarat mujtahid bukan Nabi, maka tidak diharuskan berijtihad bagi Nabi dan juga sebagai syarat Ijtihad tidak terjadi pada zaman Nabi; maka timbul dua masalah: terjadi perbedaan pendapat dalam kebolehan taabud dengnan qiyas dan ber Ijtihad pada zaman Rasulullah Saw. dalam hal ini terjadi dua versi: Sekelompok yang melarangnya, dan sekelompok yang membolehkannya. Pendapat pertama : boleh dalam hal memutuskan perkara dan hal pemerintahan dalam keadaan Raasulullah tidak ada. Pendapat kedua: yang membolehkan dengan mengatakan dengan izin Rasulullah cukup dengan diamnya Rasulullah Saw.
Menurut Al-Ghazali dalam mendapatkan hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global) menurutnya ada ke-ijmalan, sebagai contoh pada Firman Allah Swt;
وامسحوا بر ء وسكم dalam hal ini Imam Malik dan Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan al-Urf, mewajibkan membasuh seluruh rambut pada setiap berwudhu, sementara itu Imam Syafi’i dan Abd. Jabbar dan Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah menetapkan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan dari sebahagian saputangan, maka wajib membasuh sebahagian rambut. Karena itu Imam Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain:         bahwa membasuh dari segi bahasa adalah sebahagian seperti halnya mandi yang berarti keseluruhan.
Secara Al-Bayan, dengan mengambil contoh sah keterangan dengan perbuatan sama kalau memakai dengan perbuatan. Contoh yang lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat dan haji dengan perbuatannya (dengan contohnya), pada kebanyakan orang mukallaf sebagaimana sabda Rasulullah saw., dalam riwayat Bukhary:
صلوا كمارايتمونى ا صلى خذوا على مناسككم

Dari sini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw., menjelaskan melalui perbuatan.
Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazali mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut:
harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus mendahulukan sanadnya yang banyak dan tidak berbohong. Kalau bertentangan al-Jarhu wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur tetapi dengan syarat harusadil maka itu dapat diterima.
Terkait dengan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan di dalam ber-Ijma’ menggantungkan diri, tetapi tetap melegitimasi yang tidak adil seperti di dalam kitab Al-Amidi dan Al-Ghazali menjelaskan bahwa adil yang menunjukkan kehujjahan Ijma’ itu bersifat umum, mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq tidak boleh dijadikan hujjah.
Al-Ghazali secara etimologi memberi penjelasan bahwa kata qiyas berarti mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, ia membari definisi qiyas, sebagai berikut : “Menanggungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapakan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”
Dari definisi yang diberikan oleh Al-Ghazali, secara panjang dan rumit, demikian juga penggunaan kata: hamala (menanggungkan), ada juga pakai isbath (menetapkan), ilhaq (menghubungkan) dan sebagainya. tersebut mengandung arti bahwa qiyas itu merupakan usaha atau mujtahid.
Penggunaan kata ma’lum, oleh Al-Ghazali adalah dimaksudkan untuk menjangkau kepada sesutu yang belum diketahui (ma’düm), karena kalau dikatakan kata “sesuatu” menurut mereka, hanya berlaku yang diketahui (maujud). Terlihat lagi Al-Ghazali difinisinya menghubungkan antara ashal dan furu’ dengan kata (dalam menetapkan hukum atau peniadaan hukum), maksudnya supaya qiyas itu dapat mencapai qiyas ‘aks’ yaitu menghasilkan lawan hukum dari sesautu yang diketahui pada tempat lain karena keduanya berbeda dalam illat, hukum.
Dalam praktek Usul Fiqh, qiyas dapat dirumuskan sebagai cara untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash dengan cara menyamakannya (menganologikan) dengan kasus hokum yang ada pada nash, disebabkan adanya persamaan illat hukum.
Selain al-Ghazali muncul Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati asy-Syatibi merupakan salah seorang cendekiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.1 Asy-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi asy-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid(esensi dan hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al- Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syabti, dan Abu Ja’far Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul fikih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al- Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat. Di samping bertemu langsung, ia juga melakukan hubungan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nafsi al-Rundi. Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, asy-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa Arab dan, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fikih dalam menanggapi perubahan sosial. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, asy-Syatibi mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fikih. Asy-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Dalam kerangka ini, asy-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syariah. Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Menurut istilah, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat”
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan Penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindungan mashalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun dengan cara preventif, seperti syariah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.
Menurut al-Syatibi [11]maqasidul syariah terbagi kepada tiga tingkatan kebutuhan:
a.  Kebutuhan Dharuriyat.  Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat kelak. Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan, keturunan serta harta.
b.  Kebutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
c.  Kebutuhan Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tida pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
Pengetahuan tentang maqasid syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd-Alwahhab Khalaf, adalah hak sangat penting yang dapat dijadikan alat abntu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan sunnah menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak bertampung oleh Al-Qur’an dan sunah secara kajian kebahasan. [12] 
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :
-        Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka. Urusan-urusan yang dharuri itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbullah kekacauan, dan berkembangnya kerusakan. Urusan-urusan yang dharuri itu kembali pada lima pokok : Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
-        Menyempurnakan segala yang dihayati manusia. Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif dan beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
-        Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Ialah segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan ini dalam arti kembali kepada soal akhlak dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk mencapai keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang utama.

Urusan dharuri merupakan sepenting-pentingnya maksud, karena apabila urusan-urusan dharuri itu ridak diperoleh akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan, menghilangkan keamanan dan merajalelalah keganasan. Dalam padi itu, tidak dipelihara hukum yang bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan suatu dalam memeliharanya mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita membuka aurat untuk keperluan berobat. Menutup aurat merupakan urusan yang mengindahkan, sedangkan berobat suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis untuk obat dan dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis adalah urusan yang mengindahkan sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan dharuri[13]
Wajib kita mengerjakan segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit kesukaran, karena wajib kita termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak kesukaran dan kepicikan merupakan urusan tahsini yang mengindhkan. Karena itu tidaklah dipelihara urusan yang mengindahkan, mendatangkan kesewenangan, apabila merusak dharuri. Segala hukum dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali kalau suatu dharuri yang lebih penting dari padanya. Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad untuk memeliharanya sebab memelihara agama adalah lebih penting dari pada memelihara jiwa. Meminum arak dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara akal. Apabila perlu untuk memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara harta.

















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafi Ma’arif, Peta Bumi intelektuat Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1993
Amir Muallim-Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta; Titian Ilahi Press. Cet. I, 1997
Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, Jakarta : Pustaka Media, 2003
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982
Khairul Uman, Achyar Amitudin, Ushul Fiqh II, Bandung : CV Pustaka Setia, 1998
Nurcholish Madjid, Khazanah lntelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, Jakarta  : Kencana Prenada Media Group, 2008
Sofi Hasan Abu Thalib,  Tatbiq al-Syari’’ah Al-Islamiyah Fi Bilad Al-Arabiyah. Kairo ; Dar al-Nahdah Al-arabiyah, Cet. III1990
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1989 




[1]Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1989)  hlm 33-35 
[2]Periode ini disebut juga sebagai periode taqlid yakni ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan dan statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H) dan hanya Allah yang Maha Tahun kapan periode ini akan berakhir. Diantara penyebab terhentinya gerakan ijtihad a.l : 1) terbagi-baginya Daulah Islamiyyah dalam berbagai kerajaan yang saling bermusuhan sehingga atau terjebak dalam peperangan demi peperangan. Dalam kondisi yang demikian ini maka ‘ulama pada masa itupun terbagai dalam berbagai tingkatan. 1) tingkat pertama ahli ijihad dalam mazhab, 2) tingkat kedua, mujtahid dalam beberapa masalah yang tidak ada riwayat dari imam mazhab, 3) tingkat ketiga, ahlu at-tahriej yang tidak melakukan ijtihad untuk mengambil hukum pada beberapa masalah dan hanya melakukan pembatasan mazhab yang dianutnya dalam menafsiri pendapat-pendapat imamnya, 4) tingkat keempat ahlu at-tarjiehyang sanggup mempertimbangkan dan membandingkan diantara riwayat-riwayat dari para imam dan kemudian menetakan pilihan yang dinilai paling shahih.
Secara hampir mirip, A. Hanafi mendeskripsikan perkembangan hukum Islam dalam 5 (lima) periode. Pertama, periode permulaan hukum Islam, dimulai sejak kebangkitan Rasulullah saw hingga waftanya. Kedua, periode persiapan hukum Islam, dimulai dari khalifah pertama hingga berakhirnya masa shahabat (1 H – akhir abad I H). Ketiga periode pembinaan dan pembukuan hukum Islam serta munculnya para imam mujtahid, berlangsung kurang lebih 250 tahun. Keempat periode kemunduran hukum Islam, sebagai akibat merajalelanya taqlid dan kebekuan hingga lahirnya kitabMajallah al-Ahkam al-‘Adliyyah, suatu kitab yang mengintrodusir perundang-undangan modern dalam hukum Islam. Kelima, periode kebangunan yang dimulai dari lahirnya kitab al-Majallah hingga sekarang.
[3] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm  14
[4] Ibid, hlm 15
[5]Amir Muallim-Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. (Yogyakarta; Titian Ilahi Press. Cet. I, 1997) hlm 38.
[6]Sofi Hasan Abu Thalib,  Tatbiq al-Syari’’ah Al-Islamiyah Fi Bilad Al-Arabiyah. (Kairo ; Dar al-Nahdah Al-arabiyah, Cet. III)1990, hlm 152-163
[7]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm  13
[8] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm 13.
[9]Nurcholish Madjid, Khazanah lntelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm 34.
[10]Ahmad Syafi Ma’arif, Peta Bumi intelektuat Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm 57
[11]Khairul Uman, Achyar Amitudin, Ushul Fiqh II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998) hlm 75
[12]Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, (Jakarta : Pustaka Media, 2003) hlm 16 
[13]Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta  : Kencana Prenada Media Group, 2008) hlm 19

(Sumber: mjays.weebly.com/)

No comments:

Post a Comment

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *