Saturday, April 18, 2015

PENDIDIKAN ALA UNESCO

 A.      PENDAHULUAN
Pendidikan bukanlah sebuah kata yang asing. Setiap manusia tidak bisa lepas dari kata pendidikan. Pendidikan sudah ada sejak manusia ada di muka bumi ini. Pendidikan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan bayi yang masih ada di kandungan pun mulai mengenal pendidikan dari ibunya walaupun tidak langsung. Bahkan mungkin kalau manusia bisa, binatang pun mengenal kata pendidikan. Walaupun kata pendidikan sangat dekat dengan kehidupan manusia, tetapi apa sebenarnya pendidikan itu? Apa hakekat dari pendidikan yang sesungguhnya? Apakah pendidikan hanya bisa dilakukan di sekolah-sekolah? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang mengusik penulis untuk menemukan jawabannya karena penulis juga terlibat langsung dalam dunia pendidikan.

Pendidikan merupakan kata benda yang berasal dari kata dasar “didik” yang merupakan sebuah kata kerja, kemudian mendapat awalan pe- dan akhiran –an yang kemudian berubah fungsi menjadi kata benda. Pendidikan sendiri adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (http://definisimu.blogspot.com). Jadi dalam hal ini definisi pendidikan dilakukan dengan sebuah proses pengajaran dan pelatihan. Proses pengajaran dan pelatihan itulah yang diharpakan akan mampu mengubah seseorang menjadi lebih baik dari sebelum mengalami proses pendidikan.

Bicara masalah pendidikan rasanya kurang lengkap apabila melupakan Bapak Pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantara (1889 – 1959).  Beliau mendifinisikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Jadi, menurut Beliau pendidikan tidak hanya peningkatan kognitif tetapi juga afektif dan psikomotorik.

Pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia memacu UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai lembaga pendidikan dunia untuk mencanangkan 4 (empat) pilar pendidikan, yaitu (1) Learning to know, (2) Learning to do, (3) Learning to live together, dan (4) Learning to be. Keempat pilar pendidikan tersebut kemudian dijadikan patokan pelaksanaan pendidikan di seluruh dunia termasuk Indonesia.

B.      PEMBAHASAN
Empat pilar pendidikan menurut UNESCO mengandung makna mendalam bagi pemangku kepentingan pendidikan. Keempat pilar tersebut menjadi tujuan pelaksanaan pendidikan yang lebih luas. Sayangnya belum semua orang memahami makna dari keempat pilar pendidikan tersebut. Berikut ini akan dijelaskan makna dari masing-masing pilar pendidikan menurut UNESCO tersebut.

1.     Learning to know (Belajar untuk tahu)
Learning to know ini memiliki pengertian orang belajar agar menjadi tahu. Dengan kata lain, dari tidak mengetahui setelah dididik dan diajari menjadi tahu. Pendidikan ini sudah dilakukan di lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga. Masih ingatkah ketika seorang anak kecil belajar berjalan? Dengan bimbingan dan pelatihan yang dilakukan dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, akhirnya anak tersebut bisa berjalan. Belajar yang lain misalnya belajar berbicara, makan, mengendarai sepeda dan lain-lainnya yang sebelumnya selalu dilakukan oleh orang tuanya tetapi lambat laun bisa melakukannya sendiri karena belajar dan dididik oleh orang tuanya. Begitu juga seorang anak akan belajar untuk bicara lebih sopan dan halus kepada orang tuanya dan orang lain karena dia belajar dan dididik bahwa bicara tidak sopan itu tidak baik untuk dilakukan.

Pengertian learning to know kemudian berkembang seiring perkembangan usia anak. Ada saatnya seorang anak harus terlepas dari orang tua untuk belajar di lembaga-lembaga pendidikan resmi seperti di sekolah-sekolah. Tetapi bukan berarti peran orang tua berhenti ketika anak mereka mulai mengenyam dunia pendidikan di sekolah. Hanya saja peran mereka sebagai pendidik di lingkungan keluarga akan dibantu oleh orang lain di lembaga pemdidikan yang mungkin tidak bisa mereka lakukan di rumahnya sendiri. Karena itu dalam pendidikan di sekolah ini peran guru sebagai pendidik sangat penting. Gurulah yang akan mengajarkan berbagai ilmu kepada anak bangsa, sehingga mereka menjadi tahu banyak. Penulis sangat ingat ketika dahulu memasuki SMP sangat takut dengan Bahasa Inggris. Maklum saja karena di SMP lah penulis belajar Bahasa Inggris untuk pertama kalinya. Dari guru Bahasa Inggrislah kemudian penulis tahu bahasa Inggris dari sebelumnya yang tidak tahu apa-apa tentang bahasa Inggris.

Dari pengalaman penulis tersebut peran guru sangatlah kompleks demi tercapainya tujuan pendidikan. Guru tidak hanya sebagai pendidik tetapi guru juga berperan sebagai sumber belajar bagi para siswanya, sebagai fasilitator yang siap memberikan pelayanan kepada siswa dalam proses pembelajaran, sebagai pengelola yang mampu  menciptakan iklim blajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman, sebagai demonstrator yang berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan, sebagai pembimbing, sebagai mediator yang harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan media dengan baik, serta sebagai evaluator untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan/ keefektifan metode mengajar (http://gears99.blogspot.com).  
Dari uraian di atas bisa dikatakan bahwa learning to know dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupannya. Seorang anak yang berhasil dalam belajarnya akan menerapkan yang baik dalam kehidupannya dan akan meninggalkan atau tidak melakukan apa yang diketahuinya tetapi tidak baik untuk dirinya.

2.     Learning to do (Belajar berkarya)
Konsep learning to do menyiratkan bahwa siswa dilatih untuk sadar dan mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik (http://irsyakhafid.wordpress.com). Konsep ini berkaitan erat dengan learning to know karena dari apa yang dipelajari dan diketahui itulah yang akan digunakan untuk berbuat dalam masyarakat luas.   Dalam konsep komisi Unesco, belajar berkarya ini mempunyai makna khusus, yaitu dalam kaitan dengan vokasional. Belajar berkarya adalah balajar atau berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Sejalan dengan tuntutan perkembangan industri dan perusahaan, maka keterampilan dan kompetisi kerja ini, juga berkembang semakin tinggi, tidak hanya pada tingkat keterampilan, kompetensi teknis atau operasional, tetapi sampai dengan kompetensi profesional. Karena tuntutan pekerjaan di dunia industri dan perusahaan terus meningkat, individu yang akan memasuki dan/atau telah masuk di dunia industri dan perusahaan perlu terus bekarya. Mereka harus mampu doing much (berusaha berkarya banyak). Dengan kata lain, belajar berkarya atau learning to do merupakan aplikasi nyata dari apa yang diperoleh dalam proses learning to know yang didapat dari sekolah atau pelatihan. Seorang siswa yang memperoleh pengetahuan tetapi tidak menggunakannya untuk berkarya dalam masyarakat yang lebih luas, akan sia-sialah pengetahuan yang diperolehnya.

3.     Learning to live together (Belajar hidup bersama)
 Akhir-akhir ini kekerasan terjadi di mana-mana. Sekelompok siswa terlibat tawuran pelajar dengan siswa dari sekolah yang lain, masyarakat terlibat baku hantam dengan masyrakat yang lain hanya karena perbedaan agama, ras, dan warna kulit, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Kalau dipikir, mengapa hal ini bisa terjadi? Apaka hanya karena perbedaan warna kulit, agama, suku bangsa akan menghancurkan bangsa ini?

Tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan selalu ada di setiap tempat. Manusia perlu menyadari bahwa hakekat hidup adalah berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat luas. Merupakan impian yang tidak mungkin terwujud dan mustahil apabila manusia mengharapkan berinteraksi dengan satu jenis kelompok saja karena Tuhan memang menciptakan manusia dalam keanekaragaman. Akan tetapi keanekaragaman itu seharusnya tidak dijadikan alasan untuk saling menyalahkan sehingga timbul pertengkaran. Keanekaragaman itu tercipta dengan satu tujuan yaitu agar manusia bisa menghargai keanekargaman tersebut sehingga bisa hidup dengan rukun dan damai.

Konsep learning to live together yang dicanangkan oleh UNESCO sangat pas untuk masyarakat sekarang ini, dimana pertengkaran dan peperangan antar rasa atau suku agama marak di mana-mana. UNESCO sebagai lembaga pendidikan dunia merupakan salah satu organisasi yang ikut bertanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan di seluruh masyarakat dunia. Keberhasilan pendidikan yang tidak hanya dilihat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga dari kecerdasan masyarakat dunia untuk bisa hidup dengan rukun dan damai di tengah-tengah perbedaan. Alangkah indahnya dunia ini apabila orang saling menghargai perbedaan yang ada di lingkungan mereka. Inilah intisari dari konsep learning to live together yang menginginkan manusia untuk saling menghargai perbedaan sehingga bisa tercapai kehidupan yang rukun, aman, dan damai.

4.     Learning to be (Belajar untuk menjadi diri sendiri)
Dalam sebuah kesempatan, biasanya setelah tes atau ulangan, kadang secara tidak sengaja penulis mendengar percakapan siswanya yang mengatakan,”Untung tadi pas aku nyontek tidak ketahuan oleh pengawas”. Di kesempatan lain penulis juga mendengar, “Kasihan si A ketahuan nyontek sama pengawas sampai kertasnya diambil”. Bahkan pernah penulis mendengar pengakuan langsung dari siswa SMA yang mengungkapkan keterlibatannya dalam menodai Ujian Nasional dengan saling tukar jawaban melalui HP. Yang membuat penulis gemes adalah peristiwa itu terjadi tidak hanya lintas ruang ujian tetapi bahkan sampai lintas sekolah.  Pada saat itu penulis hanya berpikir bahwa anak-anak sekarang kurang percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi? Kalau siswa sudah belajar dan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan, hal ini tidak perlu terjadi.

Konsep learning to be berarti proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Untuk mendapatkan jati diri penguasaan pengetahuan dan keterampilan memang sangat dibutuhkan. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat merupakan salah satu proses pencapaian aktualisasi diri sendiri. Misalnya, dalam kasus siswa yang nyontek tersebut, dia sudah tahu bahwa salah satu norma atau aturan yang berlaku dalam tes tersebut adalah dilarang nyontek. Kalau masih terdapat siswa yang nyontek berarti dia belum belajar untuk menjadi diri sendiri. Dalam kasus ini peran guru sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada siswa tersebut tentang pentingnya aktualisasi diri untuk menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi orang lain. Gurulah yang berperan sebagai fasilitator agar siswa menyadari bakat, minat dan kemampuan mereka sehingga mereka bisa menjadi diri sendiri tanpa harus bergantung dengan orang lain lagi.

 PENUTUP
Pilar pendidikan menurut UNESCO tersebut terasa sangat pas untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Antara pilar yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan mendukung sehingga menjadi satu kesatuan. Apabila dipahami dengan benar, pendidikan bukanlah sekedar mentransfer ilmu kepada siswa tetapi juga bagaimana menerapkan ilmu tersebut untuk mengembangkan potensi dirinya sehingga mampu hidup di lingkungan yang lebih luas dan beranekaragam.

Pendidikan tersebut tidak bisa dipisahkan dari peran guru yang bukan hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai pendidik. Mentransfer ilmu pengetahuan bisa dilakukan oleh siapa saja. Akan tetapi mendidik memiliki makna yang lebih dalam dari mengajar, dimana guru tidak hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga menciptakan generasi penerus bangsa yang mandiri dan berhasil mengaktualisasikan dirinya dalam masyarakat yang lebih luas. Hal ini tentu saja dibutuhkan guru yang mumpuni dan mengetahui jelas pilar-pilar pendidikan yang dicetuskan oleh UNESCO dan menerapkannya dalam proses belajar mengajarnya.

  Walaupun ke-empat pilar pendidikan yang dicetuskan oleh UNESCO bagus dan diharapkan bisa memajukan pendidikan di seluruh dunia termasuk Indonesia, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa untuk melaksanakannya masih banyak kendala dan halangan. Guru merupakan salah satu kendala untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang mulia tersebut. Di Indonesia, terutama, masih banyak guru yang perlu ditingkatkan kompetensinya karena untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut diperlukan guru yang benar-benar handal. Bagaimana mungkin tujuan pendidikan akan tercapai jika gurunya yang terlibat langsung dalam usaha mencapai tujuan pendidikan masih guru asal-asalan?

Kendala lain adalah fasilitas yang dibutuhkan  dalam proses belajar mengajar yang akan mendukung berhasilnya pendidikan. Di negara-negara maju siswanya belajar dalam ruang kelas yang nyaman dengan jumlah siswa yang terbatas, sarana prasarana tersedia lengkap. Tapi lihatlah di Indonesia. Berapa anak yang terpaksa belajar di bawah pohon karena gedungnya hampir roboh? Berapa anak yang tidak mengetahui apa itu internet? Bagaimanapun juga fasilitas yang tersedia mendudkung tercapainya tujuan pendidikan.

Selain itu pola pikir masyarakat tentang pendidikan yang berbeda juga merupakan kendala. Di negara yang pendidikannya maju pola pikir masyarakat terhadap pentingnya pendidikan tinggi, sehingga mereka bisa bekerjasama saling bahu membahu demi mencapai tujuan pendidikan. Tetapi lihatlah masyarakat Indonesia. Apalagi setelah pemerintah menyediakan dana BOS yang mewajibkan setiap siswanya bebas dari pungutan apapun. Sekilas memang bagus karena memikirkan masyarakat yang tidak mampu. Tetapi tahukah imbasnya terhadap pola pikir masyarakatnya? Berapa orang tua yang salah tafsir terhadap program pemerintah sehingga menuntut apa-apa gratis, bahkan sampai kepada siswanya. Lalu bagaimana dengan masyarakat yang mampu? Adilkah bila mereka juga terbebas dari segala pungutan karena mereka disamakan dengan keluarga yang tidak mampu? Apa kontribusi mereka terhadap sekolah untuk mewujudkan tujuan pendidikan?

Bagaimanapun bagusnya tujuan pendidikan, satu hal yang perlu diluruskan yaitu bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab guru atau lembaga tertentu tetapi masyrarakat pun mempunyai tanggung jawab yang sama. Oleh karena itu sudah saatnya seluruh masyarakat bekerja bersama demi tercapainya tujuan pendidikan seperti yang dicetuskan oleh UNESCO sebagai lembaga pendidikan resmi tingkat dunia. Dengan menyadari pentingnya pendidikan dan saling bekerja sama untuk mewujudkannya, bukan tidak mungkin tujuan mulia dari pendidikan akan tercapai.

 REFERENSI
http://irsyakhafid.wordpress.com/2011/12/17/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco-dan-5-pilar-pendidikan-di-indonesia/ ;  
http://rstdjogdja80.blogspot.com/2012/03/5-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html;
http://11093dinar.blogspot.com/2012/03/4-pilar-dalam-pendidikan-menurut-pbb.html;
http://dayanmaulana.blogspot.com/2010/06/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html;
http://musliadiuhamka.blogspot.com/2012/01/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html;
http://gears99.blogspot.com/2012/04/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html;
http://definisimu.blogspot.com/2012/07/definisi-pendidikan.html;
***yk-edu.org/

No comments:

Post a Comment

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *