Saturday, April 11, 2015

CIRI ATAU KRITERIA PEMIMPIN

Menurut Keith Davis Ciri-ciri Kepemimpinan memiliki ada 4 hal, yaitu :
  • Intelegensinya tinggi (intellegence), seorang pemimpin harus memiliki tingkat intelegensi yang lebih tinggi dari bawahan nya.
  • Kematangan jiwa sosial (social maturity and breadth) Pemimpin biasanya memiliki perasaan/jiwa yang cukup matang dan mempunyai kepentingan serta perhatian yang cukup  besar terhadap bawahannya.
  • Motivasi terhadap diri dan hasil (inner motivation and achievment drives) Para pemimpin senantiasa ingin membereskan segala sesuatu yang menjadi tugas dan tanggung jawab nya.
  • Menjalin hubungan kerja manusiawi (humman relation attides) Pemimpin harus dapat bekerja secara efektif dengan orang lain atau dengan bawahannya.
 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sedangkan menurut Syaikhul Islam dalam karyanya as-Siyasah as-Syar’iyah tentang kriteria pemimpin yang baik. Beliau menjelaskan,

وينبغي أن يعرف الأصلح في كل منصب فإن الولاية لها ركنان : القوة والأمانة

”Selayaknya untuk diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Karena kepemimpinan yang ideal, itu memiliki dua sifat dasar: kuat (mampu) dan amanah.”

Kemudian beliau menyitir beberapa firman Allah,

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

“Sesungguhnya manusia terbaik yang anda tunjuk untuk bekerja adalah orang yang kuat dan amanah.” (QS. Al-Qashas: 26).

Dalil lainnya, pujian yang diberikan oleh penguasa Mesir kepada Nabi Yusuf,

إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ

“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi (kuat secara posisi) lagi dipercayai pada sisi kami”. (QS. Yusuf: 54).

Demikian pula karakter Jibril yang Allah amanahi menyampaikan wahyu kepada para rasul-Nya, karakter Jibril yang Allah puji dalam al-Qur'an,

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ ( ) ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ ( ) مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ

Sesungguhnya Al Qur’aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), ( ) yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, ( ) yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi amanah. (QS. At-Takwir: 19 – 21).

Demikianlah kriteria pemimpin ideal yang Allah sebutkan dalam al-Qur'an. Kuat dalam arti mampu secara profesional dan amanah.

Kemudian, Syaikhul Islam menjelaskan batasan kuat (mampu) dan batasan amanah,

والقوة في كل ولاية بحسبها فالقوة في إمارة الحرب ترجع إلى شجاعة القلب وإلى الخبرة بالحروب والمخادعة فيها فإن الحرب خدعة وإلى القدرة على أنواع القتال… والقوة في الحكم بين الناس ترجع إلى العلم بالعدل الذي دل عليه الكتاب والسنة وإلى القدرة على تنفيذ الأحكام

Sifat ‘kuat’ (profesional) untuk setiap pemimpin, tergantung dari medan nya. Kuat dalam memimpin perang kembali kepada keberanian jiwa dan kelihaian dalam berperang dan mengatur strategi. Karena inti perang adalah strategi. Demikian pula kembali kepada kemampuan dalam menggunakan senjata perang…

Sementara kuat dalam menetapkan hukum di tengah masyarakat kembali kepada tingkat keilmuannya memahami keadaan yang diajarkan al-Quran dan sunah, sekaligus kemampuan untuk menerapkan hukum itu.

Selanjutnya, beliau menjelaskan kriteria amanah

والأمانة ترجع إلى خشية الله، وألا يشتري بآياته ثمنا قليلا، وترك خشية الناس؛ وهذه الخصال الثلاث التي أخذها الله على كل من حكم على الناس

Sifat amanah, itu kembali kepada kesungguhan orang untuk takut kepada Allah, tidak memperjual belikan ayat Allah untuk kepentingan dunia, dan tidak takut dengan ancaman manusia. Tiga kriteria inilah yang Allah jadikan standar bagi setiap orang yang menjadi penentu hukum bagi masyarakat.

Kemudian beliau mengutip firman Allah,

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)

Mampu (Profesional) dan Amanah, Mana Prioritas?

Anda semua tentu menyadari, untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki dua kriteria ini sekaligus, sangat sulit untuk ditemukan. Hingga Syaikhul Islam di halaman lain dalam buku itu menyatakan,

اجتماع القوة والأمانة في الناس قليل، ولهذا كان عمر بن الخطاب -رضي الله عنه- يقول: اللهم أشكو إليك جلد الفاجر، وعجز الثقة

Kemampuan dan amanah jarang bersatu pada diri seseorang. Karena itu, Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah mengadu kepada Allah, ”Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu: orang fasik yang kuat (mampu) dan orang amanah yang lemah.”

Di sinilah Syaikhul Islam menyarankan untuk menerapkan skala prioritas. Mana karakter yang lebih dibutuhkan masyarakat, itulah yang di kedepan kan.

Dalam posisi tertentu, sifat amanah lebih di kedepan kan. Namun di posisi lain, sifat mampu dan profesional lebih di kedepan kan.

Syaikhul Islam membawakan riwayat dari Imam Ahmad, ketika beliau ditanya,
Jika ada dua calon pemimpin untuk memimpin perang, yang satu profesional tapi fasik, dan yang satu soleh tapi lemah. Mana yang lebih layak dipilih?’

Jawab Imam Ahmad,

أما الفاجر القوي، فقوته للمسلمين، وفجوره على نفسه؛ وأما الصالح الضعيف فصلاحه لنفسه وضعفه على المسلمين. فيغزي مع القوي الفاجر

Orang fasik yang profesional, maka kemampuannya menguntungkan kaum muslimin. Sementara sifat fasiknya merugikan dirinya sendiri. Sedangkan orang soleh yang tidak profesional, maka kesolehannya hanya untuk dirinya, sementara ketidak mampuannya merugikan kaum muslimin. Dipilih perang bersama pemimpin yang profesional meskipun fasik.

Sebaliknya, jika dalam posisi jabatan itu lebih membutuhkan sifat amanah, maka didahulukan yang lebih amanah, sekalipun kurang profesional. Syaikhul Islam menyebutkan,

وإذا كانت الحاجة في الولاية إلى الأمانة أشد، قدم الأمين؛ مثل حفظ الأموال ونحوها

Jika dalam kepemimpinan itu lebih membutuhkan sifat amanah, maka didahulukan yang memiliki sifat amanah, seperti bendahara atau semacamnya.

Kemudian, beliau memberikan kesimpulan dalam menentukan pemimpin,

قدم أنفعهما لتلك الولاية وأقلهما ضررا فيها

Diutamakan yang lebih menguntungkan untuk jabatan itu, dan yang lebih sedikit dampak buruknya.

(Sumber: dari berbagai sumber dan http://www.konsultasisyariah.com/bagaimana-kriteria-pemimpin-yang-baik-dalam-islam)



Baca Juga :

  • Pengertian Pemimpin Menurut Para Ahli
  • Teori Kelahiran Pemimpin
  • Teori-teori Kepemimpinan
  • Tipe dan Gaya Kepemimpinan
  • Syarat-syarat Kepemimpinan

SYARAT KEPEMIMPINAN

Jikalau saudara/saudari mempunyai niat dan berminat untuk menjadi seorang pemimpin, yang dimaksud adalah dalam jabatan politik, pemerintahan, swasta dan organisasi kepemudaan atau kemasyarakatan, maka ada prasyarat yang harus saudara/saudari miliki. Secara umum ada banyak syaratnya dan saya coba untuk membaginya kepada saudara/saudari. Langsung saja disimak.

Yang menjadi titi tekan adalah Kemampuan karena  ini merupakan sumber daya kekuatan, kesanggupan dan kecakapan secara teknis maupun sosial, yang melebihi dari anggota biasa. Stodgill yang dikutip James A. Lee menyatakan pemimpin itu harus mempunyai kelebihan sebagai persyaratan, antara lain:
  1. Kepastian, kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara, kemampuan menilai.
  2. Prestasi, gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan dalam bidang tertentu.
  3. Tanggung jawab, berani, tekun, mandiri, kreatif, ulet, percaya diri, agresif.
  4. Partisipasi aktif, memiliki stabilitas tinggi, kooperatif, mampu bergaul.
  5. Status, kedudukan sosial ekonomi cukup tinggi dan tenar.

Selain daripada persyaratan tersebut lebih rinci nya seperti dibawah ini:
Banyak Mendengar, Kita harus rajin dan sering menerima keluhan, kritikan dan masukan dari orang yang akan anda pimpin.

Banyak Melihat, Kita harus rajin dan sering meninjau atau mengunjungi tempat-tempat yang akan menjadi target. Lihatlah langsung apa yang dibutuhkan, apa yang kurang, potensi apa yang bisa dikembangkan dan sebagainya, jangan hanya mendengar laporan orang lain. Bila harus catatlah setiap kejadian, renungkan dan perbuatlah kemudian hari.

Banyak Merasakan, Kita harus rajin dan sering mengumpamakan bahwa posisi kita atau keluarga kita pada posisi mereka. Kuncinya jangan sepele kan hal kecil dan jangan merendahkannya.

Banyak Memikirkan, Kita harus dan sering memikirkan bagaimana cara jalan penyelesaian terbaik atas semua problem yang dihadapi oleh orang yang akan di pimpin.

Banyak Berbuat, Kita harus dan sering menerjemahkan semua keluhan, kritikan atau bahkan mungkin cemoohan dari orang yang kita pimpin. Berikan perhatian khusus dan buat rancangan program terbaik, jadikan semua itu pemicu serta pemacu semangat kerja. Berbuat semaksimal dan se optimal mungkin. jangan lupa yakin usaha pasti akan sampai.

Semoga bermanfaat (kalau ada kekurangan harap di maklum masih belajar (: )...
Jangan lupa Baca ini juga : Ciri atau Kriteria Seorang Pemimpin

TIPE DAN GAYA KEPEMIMPINAN

Setiap Pemimpin dalam Memimpin sebuah Organisasi sudah barang tentu mempunyai Tipe dan Gaya dalam Kepemimpinan nya. Tipe Kepemimpinan dapat diartikan sebagai bentuk, pola atau jenis kepemimpinan, yang di dalamnya diimplementasikan beberapa perilaku atau gaya kepemimpinan sebagai pendukungnya. Sedangkan Gaya Kepemimpinan dapat diartikan sebagai perilaku atau cara yang dipilih dan atau dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku para anggota organisasi atau orang yang di pimpin nya.

Sehubungan dengan itu Kartini Kartono menjelaskan bahwa tipe kepemimpinan terbagi atas:
  • Tipe Kharismatik
Tipe ini mempunyai daya tarik dan pembawaan yang luar biasa, sehingga mereka mempunyai pengikut yang jumlahnya besar. Kesetiaan dan kepatuhan pengikutnya  timbul dari kepercayaan terhadap pemimpin itu. Pemimpin dianggap mempunyai kemampuan yang diperoleh dari kekuatan Yang Maha Kuasa.
  • Tipe Paternalistik
Tipe Kepemimpinan dengan sifat-sifat antara lain;
a. Menganggap bawahannya belum dewasa
b. bersikap terlalu melindungi
c. Jarang memberi kesempatan bawahan untuk mengambil keputusan
d. Selalu bersikap maha tahu dan maha benar.
  • Tipe Otoriter
Pemimpin tipe otoriter mempunyai sifat sebagai berikut:
a. Pemimpin organisasi sebagai miliknya
b. Pemimpin bertindak sebagai diktator
c. Cara menggerakkan bawahan dengan paksaan dan ancaman
  • Tipe Militeristik
Dalam tipe ini pemimpin mempunyai sifat-sifat:
a. Menuntut kedisiplinan yang keras dan kaku
b. Lebih banyak menggunakan sistem perintah
c. Menghendaki keputusan mutlak dari bawahan
d. Formalitas yang berlebih-lebihan
e. Tidak menerima saran dan kritik dari bawahan
f. Sifat komunikasi hanya se pihak
  • Tipe Demokrasi
Tipe demokrasi mengutamakan kerja sama sehingga terdapat koordinasi pekerjaan dari semua bawahan. Kepemimpinan demokrasi menghadapi potensi sikap individu, mau mendengarkan saran dan kritik yang sifatnya membangun. Jadi pemimpin menitik beratkan pada aktivitas setiap anggota kelompok, sehingga semua unsur organisasi dilibatkan dalam aktivitas, yang dimulai penentuan tujuan, pembuatan rencana keputusan, disiplin dan seterusnya.


TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN

Memahami teori-teori kepemimpinan sangatlah besar manfaatnya ketika kita akan mengkaji sejauh mana Kepemimpinan dalam suatu organisasi telah dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien serta apakah kepemimpinan tersebut menunjang kepada produktifitas organisasi secara keseluruhan. Disini saya akan sedikit membagikan dan akan membahas tentang teori dan gaya kepemimpinan.

Hal yang paling utama adalah seorang pemimpin harus mengerti tentang teori kepemimpinan agar nantinya mempunyai referensi dalam menjalankan sebuah organisasi. Beberapa teori tentang kepemimpinan yang saya kutip dari beberapa sumber antara lain :
  • Teori Kepemimpinan Sifat (Trait Theory)
Analisis ilmiah tentang kepemimpinan berangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori Sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa "pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan" yang kemudian teori ini dikenal “The Greatma Theory”. Dalam perkembangannya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwa sifat-sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat-sifat itu antara lain: Sifat Fisik, Mental dan Kepribadian.

Keith Devis merumuskan 4 (empat) Sifat Umum yang berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan dalam organisasi, antara lain:

Kecerdasan
Berdasarkan hasil penelitian, pemimpin yang mempunyai kecerdasan yang tinggi di atas kecerdasan rata-rata dari pengikutnya akan mempunyai kesempatan berhasil yang lebih tinggi pula. Karena pemimpin pada umumnya memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang di pimpin nya.

Kedewasaan dan Keluasan Hubungan Sosial
Umumnya di dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan internal maupun eksternal, seorang pemimpin yang berhasil mempunyai emosi yang matang dan stabil. Hal ini membuat pemimpin tidak mudah panik dan goyah dalam mempertahankan pendirian yang diyakini kebenarannya.

Motivasi Diri dan Dorongan Berprestasi
Seorang pemimpin yang berhasil umumnya memiliki motivasi diri yang tinggi serta dorongan untuk berprestasi. Dorongan yang kuat ini kemudian tercermin pada kinerja yang optimal, efektif dan efisien serta terorganisir dan terarah.

Sikap Hubungan Kemanusiaan
Adanya pengakuan terhadap harga diri dan kehormatan sehingga para pengikutnya mampu berpihak kepadanya.
  • Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecenderungan kearah 2 (dua) hal, yaitu:

Pertama, yang disebut dengan konsiderasi yaitu kecenderungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Semisal gejala yang ada dalam hal ini seperti: membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia berkonsultasi dengan bawahan.

Kedua, disebut Struktur Inisiasi yaitu Kecenderungan seorang pemimpin yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat, bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil yang akan dicapai.
Jadi, berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi pula.
  • Teori Kewibawaan Pemimpin
Kewibawaan merupakan faktor penting dalam kehidupan kepemimpinan, sebab dengan faktor itu seorang pemimpin akan dapat mempengaruhi perilaku orang lain baik secara perorangan maupun kelompok sehingga orang tersebut bersedia untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh pemimpin.
  • Teori Kepemimpinan Situasi
Seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan.
  • Teori kelompok
Agar tujuan kelompok (organisasi) dapat tercapai, harus ada pertukaran yang positif antara pemimpin dengan pengikutnya.


Baca Juga Yah.... Tipe dan Gaya Kepemimpinan

TEORI KELAHIRAN PEMIMPIN

Para ahli Teori Kepemimpinan telah mengungkapkan beberapa teori tentang munculnya Seorang Pemimpin. dalam hal ini terdapat 3 (tiga) teori yang menonjol menurut Sunindhia dan Ninik Widiyanti, yaitu:

1. Teori Genetik --- Penganut teori ini berpendapat bahwa, “pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk”  (Leaders are born and not made).
Pandangan teori ini bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin karena “keturunan” atau ia telah dilahirkan dengan “membawa bakat” kepemimpinan. Teori keturunan ini,  dapat saja terjadi, karena  seseorang dilahirkan telah “memiliki potensi” termasuk “memiliki bakat” untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor “dasar”. Dalam realitas,  teori keturunan ini biasanya dapat terjadi di kalangan bangsawan atau keturunan raja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang lahir dalam keturunan tersebut akan diangkat menjadi raja.

2. Teori Sosial --- Penganut teori ini berpendapat bahwa, "seseorang yang menjadi pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan" (Leaders are made and not born). 
Penganut teori ini berkeyakinan bahwa semua orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja faktor lingkungan atau faktor pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut muncul atau ter aktualisasi kan dengan baik dan inilah yang disebut dengan faktor “Pembinaan” atau “Pengembangan”. Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar, dan dilatih untuk menjadi pemimpin.  Intinya, bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan merupakan dan atau berasal dari keturunan seorang pemimpin atau seorang bangsawan/raja, asalkan dapat dibina, dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin.

3. Teori Ekologik --- Penganut teori ini berpendapat bahwa,  seseorang akan menjadi pemimpin yang baik “manakala dilahirkan” telah memiliki bakat kepemimpinan. Kemudian bakat tersebut dikembangkan melalui  pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk mengembangkan lebih lanjut potensi-potensi atau bakat-bakat yang telah dimiliki.
Jadi, inti dari teori ini yaitu seseorang yang akan menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat, dan lingkungan yang meliputi faktor pendidikan, latihan dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasikan dengan baik.

Selain ketiga teori tersebut, muncul pula teori keempat yaitu Teori Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi. Penganut teori ini berpendapat bahwa, ada tiga faktor yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang menjadi pemimpin atau tidak, yaitu:
1). Bakat kepemimpinan yang dimilikinya.
2). Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah diperolehnya, dan
3). Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut. 

Teori ini disebut dengan teori serba kemungkinan dan bukan sesuatu yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi pemimpin jika memiliki bakat, lingkungan yang membentuknya, kesempatan dan kepribadian, motivasi dan minat yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin.
Menurut Ordway Tead, bahwa timbulnya seorang pemimpin, karena :
1). Membentuk diri sendiri (self constituded leader, self mademan, born leader).
2). Dipilih oleh golongan, artinya ia menjadi pemimpin karena jasa-jasanya, karena sanggup, karena mampu, karena berani dan lain sebagainya terhadap sebuah organisasi.
3). Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi pemimpin karena dipercaya dan disetujui oleh pihak atasannya (Imam Mujiono)


Baca Juga : Teori - Teori Kepemimpinan

PENGERTIAN PEMIMPIN

Pemimpin Menurut Para Ahli
Berikut pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan yang saya kutip dari beberapa sumber:
  • Ahmad Rusli “Menyatakan pemimpin adalah individu manusia yang di amanah kan memimpin subordinat  (pengikutnya) ke arah mencapai matlamat  yang ditetapkan”.
  • Miftha Thoha dalam bukunya Perilaku Organisasi. Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasannya. 
  • Kartini Kartono Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
  • C.N. Cooley Pemimpin itu selalu merupakan titik pusat dari suatu kecenderungan, dan pada kesempatan lain, semua gerakan sosial kalau diamati secara cermat akan ditemukan kecenderungan yang memiliki titik pusat.
  • Henry Pratt Faiechild Pemimpin dalam pengertian ialah seseorang yang dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain atau melalui prestise, kekuasaan dan posisi. Dalam pengertian yang terbatas, pemimpin ialah seorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasif nya dan ekseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya.
  • Sam Walton Pemimpin besar akan berusaha menanamkan rasa percaya diri pada para pendukung. Jika orang memiliki percaya diri tinggi, maka kita akan terkejut pada hasil luar biasa yang akan mereka raih.
  • Rosalynn Carter “Seorang pemimpin biasa membawa orang lain ke tempat yang ingin mereka tuju”. Seorang pemimpin yang luar biasa membawa para pendukung ke tempat yang mungkin tidak ingin mereka tuju, tetapi yang harus mereka tuju. 
  • John Gage Alle Leader a guide; a conductor; a commander (pemimpin itu ialah pemandu, penunjuk, penuntun; komandan).
  • I. Redl Pemimpin adalah seorang yang menjadi titik pusat yang mengintegrasikan kelompok.
  • Jim Collin Mendefinisikan pemimpin memiliki beberapa tingkatan, terendah adalah pemimpin yang andal, kemudian pemimpin yang menjadi bagian dalam tim, lalu pemimpin yang memiliki visi, tingkat yang paling tinggi adalah pemimpin yang bekerja bukan berdasarkan ego pribadi, tetapi untuk kebaikan organisasi dan bawahannya.
  • Modern Dictionary Of Sociology Pemimpin adalah seseorang yang menempati peranan sentral atau posisi dominan dan pengaruh dalam kelompok (a person who occupies a central role or position of dominance and influence in a group).
  • J.L. Borwn Pemimpin tidak dapat dipisahkan dengan kelompok, tetapi dapat dipandang sebagai suatu posisi yang memiliki potensi yang tinggi di bidangnya.
  • Kenry Pratt Fairchild Pemimpin dapat dibedakan dalam 2 arti; Pertama, pemimpin arti luas, seseorang yang memimpin dengan cara mengambil inisiatif tingkah laku masyarakat secara mengarahkan, mengorganisir atau mengawasi usaha-usaha orang lain baik atas dasar prestasi, kekuasaan atau kedudukan. Kedua, pemimpin arti sempit, seseorang yang memimpin dengan alat-alat yang meyakinkan, sehingga para pengikut menerimanya secara suka rela.
  • Dr. Phil. Astrid S. Susanto Pemimpin adalah orang yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap sekelompok orang banyak.
  • Koontz dan O’donnel mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang yang dilihat oleh para ahli tersebut adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Dan merupakan suatu proses dengan yang dengan melakukan berbagai cara untuk mempengaruhi orang atau sekelompok orang.

  • Fiedler, kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan.
  • John Pfiffner, kepemimpinan adalah kemampuan mengkoordinasikan dan memotivasi orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan yang di kehendaki.
  • Davis, kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat.
  • Ott, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain.
  • Wexley dan Yuki kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka.
  • Georger R. Terry kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama.
Dari definisi diatas ini, para ahli ada yang meninjau dari sudut pandang pola hubungan, kemampuan mengkoordinasikan, memotivasi,  kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain. Dari beberapa tinjauan  tersebut,  ada beberapa unsur pokok yang mendasari atau sudut pandang dan sifat-sifat dasar   yang ada dalam merumuskan definisi kepemimpinan, yaitu:

Unsur-unsur Yang Mendasari
Kemampuan mempengaruhi orang lain (kelompok/bawahan), Kemampuan mengarahkan atau  memotivasi tingkah laku orang lain atau kelompok dan adanya unsur kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Sifat dasar kepemimpinan

Pertama, Kecakapan memahami individual, artinya mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai daya motivasi yang berbeda pada berbagai saat dan keadaan yang berlainan. Kedua, Kemampuan untuk menggugah semangat dan memberi inspirasi. Ketiga, Kemampuan untuk melakukan tindakan dalam suatu cara yang dapat mengembangkan suasana (iklim) yang mampu memenuhi dan sekaligus menimbulkan dan mengendalikan motivasi-motivasi. (Tatang M. Amirin)
Pendapat lain, menyatakan bahwa kecakapan memimpin mencakup tiga Unsur Pokok yang mendasari nya, yaitu:
1. Seseorang pemimpin harus memiliki kemampuan persepsi sosial (sosial perception).
2. Kemampuan berpikir abstrak (abilitiy in abstrakct thinking).
3. Memiliki kestabilan emosi (emosional stability).

Kemudian dari definisi Locke, yang dikemukakan di atas, dapat dikategorikan kepemimpinan  menjadi 3 (tiga) elemen dasar, yaitu:
  1. Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relation consept), artinya kepemimpinan hanya ada dalam relasi dengan orang lain, maka jika tidak ada pengikut atau bawahan, tak ada pemimpin. Dalam definisi Locke, tersirat premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan ber relasi dengan para pengikut mereka.
  2. Kepemimpinan merupakan suatu proses, artinya proses kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas atau posisi jabatan saja, karena dipandang tidak cukup memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin, artinya seorang pemimpin  harus melakukan sesuatu. Maka menurut Burns, bahwa untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mengembangkan motivasi pengikut secara terus menerus dan mengubah perilaku mereka menjadi responsif.
  3. Kepemimpinan berarti mempengaruhi orang-orang lain untuk mengambil tindakan, artinya seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi pengikutnya dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukrisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Dengan demikian, seorang pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan organisasi (Locke dalam  Mochammad Teguh, dkk).

Dari definisi-definisi di atas, minimal dapat kita tarik kesimpulan bahwa "masalah kepemimpinan adalah masalah sosial yang mengharuskan terjadinya interaksi antara individu maupun pihak yang memimpin dengan individu atau pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasikan".  Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang Pemimpin dalam menjalankan kepemimpinan nya tidak hanya sebatas pada kemampuan dalam menjalankan roda organisasi dan melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari pada itu semua ialah "Pemimpin harus mampu melibatkan seluruh elemen-elemen organisasi nya", untuk ikut berperan aktif sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif dalam usaha mencapai tujuan bersama.

Baca Juga : Teori Kelahiran Pemimpin

SEBUAH PENGANTAR TENTANG KEPEMIMPINAN

Banyaknya literatur yang mengkaji tentang kepemimpinan dari berbagai sudut pandang atau perspektif. Kepemimpinan tidak hanya dilihat dari sejauh mana kultur pendidikan karakternya saja, akan tetapi dapat dilihat dari pembinaan, penyiapan sesuatu secara  terencana dan dapat melatih kader (kandidat leader) atau calon-calon pemimpin.

Sejarah timbulnya kepemimpinan, sejak nenek moyang dahulu kala, bargaining posisi untuk saling melindungi telah muncul bersama dengan perkembangan peradaban manusia. Bargaining tersebut muncul pada tata kehidupan sosial masyarakat atau kelompok-kelompok manusia dalam rangka untuk mempertahankan hidup menentang kebuasan binatang dan menghadapi alam sekitarnya (bersahabat dengan alam). Berangkat dari kebutuhan bersama tersebut, terjadi kesepakatan antar manusia untuk mulai menentukan unsur-unsur kepemimpinan. Orang yang ditunjuk sebagai pemimpin ialah orang-orang yang paling kuat dan pemberani, sehingga ada aturan yang disepakati secara bersama-sama misalnya seorang pemimpin harus lahir dari keturunan bangsawan, sehat, kuat, gagah, berani, ulet, telaten, pandai, kemudian mempunyai pengaruh dan segala sesuatu yang melekat pada pemimpin. Hingga sampai sekarang seorang pemimpin harus memiliki syarat-syarat yang tidak ringan, karena pemimpin sebagai ujung tombak kelompok (icon).

Menurut Moejiono Kepemimpinan merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu sosial, sebab prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Ada banyak definisi kepemimpinan yang di kemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa kesamaan.

Definisi Kepemimpinan menurut Tead Terry; Hoyt adalah “kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerja sama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok”. Young “menurutnya kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus”.

Moejiono dalam teori kepribadian memandang bahwa kepemimpinan tersebut sebenarnya sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorist) cenderung memandang kepemimpinan sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin.

***Sedikit yang bisa disampaikan dan semoga bermanfaat. Baca juga :

***(Berbagai Sumber)

ILMU PENGETAHUAN : FILSAFAT DAN TEOLOGI

Manusia bertanya
Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca indera nya, dan mulai menyadari keterbatasannya.  Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama:

“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal dan kepadanya kita menuju?”  --  Zaman Kita (Nomor 1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965.

Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur 8:

“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya nama-Mu diseluruh bumi!
Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan.

Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagi-Mu, membungkam musuh dan lawan-Mu.
Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang yang Kau tempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya? -- Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian,
juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,
 dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia nama-Mu di seluruh bumi!”

Manusia berfilsafat
Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh takwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu.  Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan.  Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis,  sistematis dan  koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggungjawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.

Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan). 

Al-Kindi (801 - 873 Masehi) : "Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia ...  Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran".

Unsur "rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat.  Disebut "secara mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab ter dalam dari obyek yang dipelajari  ("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas - pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.

Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian.  Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir.  Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu  hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kurangnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup".  Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggris) = "danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.

Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggrisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansakerta "vidya" yang di Indonesia kan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" =  Tuhan.  Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.

Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere  = menjauhkan diri dari, mengambil dari).  Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:

Aras abstraksi pertama - fisika.  Kita mulai berfikir kalau kita mengamati.  Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik dari padanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).

Aras abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan.  Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).

Aras abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”.  Kita dapat meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukan nya, dan sebagainya.  Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan.  Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”.  Akan tetapi  karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.

Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.

Manusia Berteologi
Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman.   Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini.  Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.

Iman adalah sikap batin.  Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya.  Jika iman yang sama (apapun makna kata "sama" itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan.  Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tata nilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk di komunikasi kan (disiarkan) dan dilestarikan.  Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.
Catatan.(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan koheren atas kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi hidup. Dalam konteks inilah kiranya kata akal ("'aql") dan kata ilmu ("'ilm") telah digunakan dalam teks Al Qur'an.  Kedekatan kata 'ilm dengan kata sifat 'alim kata ulama kiranya juga dapat dimengerti.  Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi, "Al-Qur'an berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan", Gema Insani Press, 1998.  Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata "ilmu" itu dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna kata "ilmu" dalam teks dan konteks Al-Qur'an itu.
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan "dari bawah". Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin menemukan hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan "dari atas" nyata pada agama-agama samawi:  Allah mengambil inisiatif mewahyukan kehendak Nya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia atas "sapaan" Allah itu.

Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkan nya: "aku tahu kepada siapa  aku percaya" (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur "intellectus quaerens fidem" (akal menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.

Obyek Material dan Obyek Formal

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.  Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat".  Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat.  Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan).  Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain.  Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.

Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.  Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi  (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu".  Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.   Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.  Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.  Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

Cabang-Cabang Filsafat
** Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat "filsafat tentang" sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah. Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:
 1. filsafat tentang pengetahuan:
    obyek material : pengetahuan ("episteme") dan kebenaran
            epistemologi;
            logika;
            kritik ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:
    obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
            metafisika umum (ontologi);
            metafisika khusus:
                        antropologi (tentang manusia);
                        kosmologi (tentang alam semesta);
                        teodise (tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
    obyek material : kebaikan dan keindahan
            etika;
            estetika;
4. sejarah filsafat.

Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan.  Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan?  Dari mana asalnya?  Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?

Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa".  Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu di komunikasi kan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.

Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain.  Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan.

** Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat: eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, ... dan sebagainya.

** Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafat (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia.  Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", wedi-lan-asih ing Panjenengane.

Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X.  Hubungan antara filsafat dengan agama X dapat di ibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.

Catatan. 1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung es di lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja dari keseluruhannya.  Karena iman adalah suasana hati, maka berlakulah peribahasa: "dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu".  Tahukah saudara akan kadar keimanan saya?
2. Sekaligus juga patut ditanyakan "di manakah letak hati yang dimaksudkan disini?  Pastilah "hati" itu (misalnya dalam kata "sakit hati" jika seorang pemudi dibuat kecewa  oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ hati (dan kata "sakit hati" karena liver anda membengkak) yang diurus oleh para dokter di rumah sakit.  Periksa pula apa yang tersirat dalam kata "batin", "kalbu", "berhati-hatilah", "jantung hati", "jatuh hati", "hati nurani", dan "suara hati".
3.  Menurut Paul A Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam masyarakat.  Sering ada banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna terkait dalam satu kata.  Manusia ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah ("clearly and distinctly"), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan mis komunikasi dan menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang dalam menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut.

Refleksi Rasional dan Refleksi Iman
Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang menjadi obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu di buku kan dalam naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama). Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel -- bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai "bangsa terpilih",  mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka.  Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi).  Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.

Catatan.
Bangsa Israel (dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang disebut "negara Israel".

Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal.  Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal  dan merupakan  cetusan penolakan mereka atas mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi).  Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang oleh kalbu karena merupakan cetusan penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa itu.  Refleksi Imani itu sungguh merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama dalam sejarah umat manusia, akan ke maha kuasa an Allah dalam hidup dan sejarah manusia.

Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh Yunani itu, berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.

Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud "ilmu kedokteran alternatif" tusuk jarum), dan dalam karya-karya sastra "kaliber dunia" dari anak benua India.  Karya-karya sastra itu sering diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari. 

Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai  pedoman untuk "mokhsa", pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini.  Ramanuja (abad 12 Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati melalui cinta.  Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-"dharma yuddha", perang penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang tak adil.  Bagi Tilak, Arjuna adalah "a man of action" ("karma yogin"), dan Gita mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi "mokhsa" melalui "perjuangan" yang di tempuh nya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih sama.  Tanpa interpretasi Tilak, misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat politis murni (atau kriminal murni?), yaitu tanpa  landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.

Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok. Refleksi merupakan sarana untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang utuh, dewasa dan mandiri.  Melalui refleksi pula, manusia dan kelompok-kelompok  manusia (yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya dalam dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa depan. 

CatatanAdakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia?  Suatu kajian berdasar naskah-naskah sastra Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ: "Manunggaling Kawula Gusti" (1935), yang telah diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT Gramedia.

***Referensi
1. Dari Bebagai Sumber
2. https://muhlis.wordpress.com/

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *