Saturday, April 18, 2015

MEWUJUDKAN TARGET MDGs PENDIDIKAN

MEWUJUDKAN TARGET MDGs PENDIDIKAN
UNTUK KEMAJUAN PENDIDIKAN MASA DATANG
   Atok Miftachul Hudha

 The Millennium Development Goals (MGDs) consist of quantitative objectives to be achieved within a certain period of time, especially the issue of poverty reduction by 2015. These were drawn from the Millennium Declaration and Indonesia was one of the 189 signatory countries in September 2000. Eight Millennium Development Goals also explains the objectives of human development, which can also directly impact the extreme poverty eradication. Each goal consist of the MDGs targets  that have a minimum limit of achievement that must be met by Indonesia in 2015. One of target goals is achieve universal primary education. In 2015, all Indonesian children both male and female will be able to complete their primary education. The Indonesian Government is committed to meet this target with the 9-year compulsory education program. This policy has been proved to improve access to primary education.



Pengantar
 Harus jujur kita akui, bahwa standar sumber daya manusia yang telah ditetapkan oleh Human Development Index  (HDI) belum mampu kita capai. Sebab standar pendidikan dan pembelajaran yang sedang kita kelola masih banyak yang terkooptasi zaman feodal dan terbelenggu pada cara-cara tradisional dan konvensional, Sementara itu, tuntutan jaman telah mengalami lompatan kompetensi pendidikan berskala global. Dampak dari hal ini adalah stimulus dan respon peserta didik terhadap pembentukan kompetensi peserta didik belum optimal, karena kompetensi pendidik pun belum memenuhi standar profesional yang diharapkan.

Keadaan yang tergambarkan ini bukan hal baru, tetapi sudah terpola melalui kebijakan politik pemerintahan sejak jaman Orde Lama, Orde Baru bahkan di Orde Reformasi ini. Pendidikan kita (baca: Indonesia) masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi pendidikan yang demikian ini memang secara teoritis tidak nampak, akan tetapi secara praktis merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi.

Materialisasi atau proses menjadikan semua bernilai materi telah masuk di segala sendi sistem pendidikan Indonesia, bahkan sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga sudah masuk pada atmosfir tujuan pendidikan itu sendiri. Apabila tujuan pendidikan sudah mengarah kepada hal-hal demikian, yang bersifat materi, maka hasil besar dari proses pendidikan yang diharapkan dapat menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cerdas, kreatif, berakhlak tinggi, berdisiplin tinggi, memiliki tanggungjawab yang tinggi, berjiwa nasionalisme tinggi, berinovasi untuk pengembangan bangsa dan lainnya akan sangat sulit diharapkan.

Rancangan pendidikan berkualitas telah banyak dibahas melalui berbagai sudut pandang. Hal ini menandakan, bahwa pendidikan memiliki nilai kelenturan (flesibilitas) yang tinggi, dengan apapun pendekatan yang digunakan untuk mengupas pendidikan tidak pernah mati dan berhenti dalam kebuntuan jalan, selalu terkupas dan terbahas. Lebih-lebih jika aspek kualitas pendidikan, maka yang dapat memberikan wacana, argumen, bahkan sampai dengan solusi sungguh luar biasa, mulai dari anak didik, orang tua, masyarakat, pihak swasta, juga para ’civitas academica’, bahkan pemerintah pun tidak ketinggalan. Walaupun secara kelembagaan terpisah, namun sejatinya ada kekuatan besar yang dapat dikolaborasikan antara individu peserta didik, orang tua, masyarakat, pihak swasta, stake holder, civitas academica  dan juga pemerintah. Namun yang menjadi permasalahannya sekarang adalah sudah berapa banyakkah anak-anak bangsa wajib belajar yang telah terfasilitasi oleh negara dapat melanjutkan studinya sejak pendidikan dasar hingga pendidikan menengah dalam batas wajib lejar 9 tahun? Tentu jawabannya adalah masih banyak anak-anak bangsa yang belum dapat mengenyam pendidikan sejak pendidikan dasar di berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia.

Jika kita mengikuti alur sejarah, maka di penghujung abad lalu Indonesia mengalami perubahan besar berupa proses reformasi ekonomi dan demokratisasi dalam bidang politik dan tidak lama setelah itu.  Di tahun 2000, para pemimpin dunia bertemu di New York untuk menandatangani “Deklarasi Milennium” yang berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan (poverty eradication). Komitmen tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Pencapaian sasaran MDGs menjadi salah satu prioritas utama bangsa Indonesia yang tidak saja menjadi tugas pemerintah semata tetapi juga merupakan tugas seluruh komponen bangsa.
Target  MDGs memuat 8 tujuan yang meliputi; 1) penanggulangan kemiskinan dan kelaparan, 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, 3) kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,  4) mengurangi   angka  kematian bayi,   5) meningkatkan kesehatan ibu, 6)  melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain, 7)  memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan  8) kemitraan untuk pembangunan. Dari ke delapan tujuan tersebut salah satu prioritas yang harus diangkat bagi Indonesia adalah menuntaskan tercapainya target pendidikan dasar untuk semua masyarakat Indonesia. Untuk itu, harus menjadi agenda prioritas bagi presiden periode 2009-2014 dalam meletakkan dasar-dasar dan sistem yang benar, tepat, proporsional dan menyeluruh (universal).

 Pendidikan untuk semua menjadi prioritas bagi bangsa Indonesia. Sebab partisipasi masyarakat Indonesia yang memenuhi usia wajib belajar masih sangat rendah dan salah satu variabel yang memengaruhinya adalah tingkat kemiskinan yang tinggi. Berdasar Gross National Index (GNI) World pada tahun 2007,  Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara “berpenghasilan menengah”. Itu terjadi karena penghitungannya berdasar dari nilai pasar total  barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu. Sementara itu,  pada taun 2007 berpenghasilan  $1.420 (setara dengan 1.077.000 per bulan). Ternyata,  Indonesia berada alam urutan ke-139 dari 209 negara di dunia.

Urutan ke-139 tersebut seolah-olah mencerminkan bahwa Indonesia benar-benar merupakan sebuah negara yang terbelakang. Namun jika melihat kenyataan di lapangan  bahwa hampir semua remaja yang memasuki usia dewasa telah melek huruf (paling tidak memiliki keterampilan dasar baca tulis)  adalah hal yang kontradiktif dengan sebutan negara terbelakang tersebut. Hal yang harus dipahami adalah dengan kedudukan ke-139 dari 209 negara dalam GNI tersebut tentu masih banyak yang harus dilakukan.

Terkait dengan kemiskinan, belum banyak kemajuan yang dicapai. Pada 2007 angka kemiskinan di Indonesia 16,6% masih lebih tinggi dibandingkan tahun 1990. Jika sekarang tahun 2009, maka 6 tahun ke depan sangat banyak yang harus dilakukan. Sementara angka partisipasi anak sekolah dasar menunjukkan peningkatan partisipasi, yaitu 94,7%. Namun bila dicermati secara mendalam, kondisi kemiskinan sebenarnya tidak seburuk angka yang ditampilkan, sebaliknya kondisi pendidikan tidak sebaik yang terungkap dalam angka tadi, artinya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan masih menjadi target prioritas dalam MDGs di Indonesia.

Alasan Mewujudkan Pendidikan Dasar Untuk Semua
Proporsi Kelulusan Anak Pra Sekolah Semakin Meningkat
Dalam hal pendidikan, nampaknya Indonesia lebih berhasil, karena tujuan kedua dari MDGs ini adalah memastikan bahwa semua anak menerima pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Angka partisipasi anak masuk pendidikan dasar secara nasional menunjukkan angka 94,7% tetapi perbedaan antar daerah masih cukup tinggi, misalnya yaitu  untuk Kalimantan Tengah (96,0%) dan Papua  (78,1%).

Di sisi lain kemajuan anak Indonesia memperoleh pendidikan pra sekolah sekarang ini meningkat secara signifikan. Hal ini ditunjukan dari hampir separuh anak usia pra sekolah memperoleh Pendidikan Anak Usia Dini (PADU) dan sekitar separuhnya di Tempat Pendidikan Al-Qur’an (TPA), sisanya di Taman Kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain (Play Group) atau pusat penitipan anak. Semua kegiatan tersebut jelas mendorong  anak bersekolah dan mengembangkan otak mereka, dan tentu saja hal ini akan mempermudah mereka saat memulai masuk sekolah dasar. 

Berdasarkan realitas di atas dapat dipastikan bahwa motivasi, sarana dan prasarna, fasilitas serta kebijakan yang pro rakyat menjadi harapan kita bersama. Itu penting agar partisipasi masyarakat wajib belajar di jenjang  pra sekolah ini secara sungguh-sungguh merebut pendidikan selanjutnya di tingkat dasar.

Problem Jargon Sekolah Gratis
Pasal 31 (2) UUD 1945 hasil amandemen menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Sedangkan dalam Pasal 34 (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyatakan: ”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Nampaknya pasal 31 (2) UUD 1945 hasil amandemen dan Pasal 34 (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 ini lebih cepat dimanfaatkan oleh para kandidat calon wali kota/bupati/gubernur dalam Pilkada. Bahkan calon presiden sekalipun untuk meraup suara pada saat Pilpres. Lihat saja, jargon  sekolah gratis.  Istilah sekolah gratis ini tidak pernah ada dalam ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Jargon sekolah gratis seolah-olah menjadi senjata ampuh untuk dapat menembus respon masyarakat tingkat bawah dan menengah (yang banyak mengalami persoalan dengan biaya sekolah) untuk memilih calon kandidat yang mengusung sekolah gratis jika “dirinya” terpilih.

Ada 2 (dua) penyikapan masyarakat terhadap istilah sekolah gratis. Pertama, kelompok masyarakat yang berpendapat dengan sekolah gratis berarti tidak ada biaya papun yang harus diberikan kepada sekolah. Jika ada sekolah yang memungut biaya dengan istilah apapun mereka menganggap bahwa itu pungutan itu liar. Jika demikian terjadi, masyarakat berhak melaporkannya sebagai pungutan liar. Kedua, kelompok masyarakat praktisi pendidikan yang berpendapat bahwa sekolah gratis sudah ada dari tahun 1945 dan ada dalam UUD 1945 pada pasal 31 UUD 1945 (”….. pemerintah berkewajiban menyelenggarkan pendidikan bagi warga negaranya”). Hal ini  sudah berlangsung dari zaman Orde Lama (Orla), bahwa sekolah sekolah  (dasar) memang gratis).

Pada tahun 1990 (di era Orde Baru) muncul program Wajib Belajar (WAJAR) sembilan tahun meluncurkan  program dengan menghilangkan sekolah bayar. Tetapi diganti dengan Sumbangan Pembangunan dan Pendidikan (SPP) yang ditentukan oleh sekolah masing-masing yang jumlahnya berbeda-beda.  Sistem ini digunakan sampai reformasi terakhir pada zaman pemerintahan presiden Megawati. Pada masa pemerintahan SBY-JK sekolah mulai dari tingkat SD-SMP-SMA hingga PT memang ratis. Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa ini bukanlah program Pemerintah Pusat tetapi kebijakan dari Bupati, Wali Kota maupun Gubernur dari suatu propinsi. Contoh, di Kabupaten MUBA Propinsi Sumatera Selatan sekolah gratis diperuntukkan dari SD-SMP-SMA hingga PT.

Jargon sekolah gratis tidak semuanya diterima dengan benar oleh masyarakat. Sehingga memunculkan berbagai masalah tentang Sekolah Gratis itu di masyarakat. Implementasi sekolah gratis hanya dapat dilaksanakan pada sekolah negeri dan tidak berlaku pada sekolah swasta. Tetapi masyarakat luas telanjur memahami bahwa sekarang ini sekolah gratis (swasta atau negeri).

Hal-hal yang muncul sebagai masalah dari slogan sekolah gratis antara lain adalah;
1.    Bagi Sekolah Negeri.
a.      Sekolah tidak berani memungut iuran apapun ke siswa.
b.     Dana operasional sekolah sangat limit meskipun ada dana BOS. Akibatnya, sekolah mengalami keterbatasan dana. Bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengembangan dan operasional sekolah.
c.      Guru menjadi ‘menurun’ keativitasnya  untuk mengembangkan siswa. Ini disebabkan karena untuk mengembangkan siswa membutuhkan sarana dan fasilitas serta dana dari sekolah sementara di sekolah tidak lagi tersedia alokasi dana untuk hal tersebut.
d.     Penggunaan Alat Tulis Kantar (ATK) sangat dibatasi, bahkan kadang guru sendiri yang membeli ATK untuk kepentingan sekolah.  Misalnya, sekolah tidak menyediakan spidol atau kertas bagi pembelajaran mata pelajaran tertentu oleh guru saat mengajar di kelas, sehingga guru mengusahakan sendiri agar Proses Belajar Mengajar (PBM) tetap terlaksanan dan tercapai sesuai Rencana Program Pembelajaran (RPP)nya.
e.      Sekolah tidak mampu membayar gaji guru honorer karena tidak tersedia dana tambahan yang mencukupi untuk membayar guru honorer yang selama ini berjalan.

2.    Bagi Sekolah Swasta.  
a.      Orang tua siswa yang belum paham tentang sekolah gratis menganggap, bahwa sekolah sekarang ini tidak lagi perlu mengeluarkan uang, termasuk kewajiban iuran yang telah dibebankan pada anaknya oleh sekolah, karena konsep gratis dimaksud telanjur diterima apa adanya tanpa memilah bahwa kebijakan gratis adalah untuk sekolah negeri dan tidak untuk sekolah swasta.
b.      Sekolah swasta tidak menjadi harapan bagi masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya, karena di negeri tidak membayar sementara di swasta harus membayar. Hal ini menyebabkan sekolah swasta yang membebani pembayaran bagi siswanya tidak dirujuk menjadi target pemilihan sekolah, mereka cenderung ke sekolah negeri yang gratis.
c.      Jika orang tua siswa tidak mau membayar biaya atau iuran-iuran, maka  guru-guru honorer ‘terancam’ tidak mendapat gaji dan   sekolah tidak dapat beroperasional dan ‘terancam’ tutup.
d.     Pemerintah tidak campur tangan terhadap pengembangan dan kemunduran sekolah swasta.
Terhadap 2 (dua) fenomena masalah di atas (dampak sekolah gratis pada sekolah negeri dan swasta) adalah konsep sekolah gratis pun menjadi slogan yang berlebihan. Ketika para artis, selebritis, dan dunia periklanan berlebihan mempromosikan sekolah gratis, dan sama sekali tidak ada fragmen yang menjelaskan bahwa apa yang dimaksud sekolah gratis. Keadaan demikian ini menyebabkan masyarakat luas semakin ‘termakan’ promosi tersebut. Jika sekolah sekarang memang benar-benar gratis, dan masyarakat banyak yang terlanjur menyikapi bahwa gratis yang dimaksud adalah benar-benar gratis alias tidak membayar  sepeserpun. Kalau sudah seperti ini berarti konsep sekolah gratis merupakan kebijakan yang belum siap dan merupakan target MDGs yang harus diluruskan di masyarakat.

Peningkatan Angka Partisipasi di SD dan SMP  Belum Merata
Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa partisipasi anak untuk sekolah di SD menunjukkan  peningkatan  yang diikuti pula oleh meningkatnya angka partisipasi anak untuk sekolah di pendidikan menengah.  Data BPS-Susenas (Biro Pusat Statistik- Survei Sosial Ekonomi Nasional) sejak tahun 1992 hingga tahun 2007 menunjukkan, bahwa mulai tahun 1992 terjadi peningkatan partisipasi anak usia sekolah untuk belajar di jenajang pendidikan dasar dan menengah. Hal ini semakin meyakinkan dalam memastikan, bahwa semua anak menerima pendidikan dasar. Angka nasional partisipasi sekolah dari BPS-Susesenas tahun 2007 juga menjelaskan  bahwa 94,7% anak yang  masuk di sekolah dasar  belum menggambarkan pemerataan di berbagai wilayah. Artinya, masih ada wilayah di tanah air  dengan angka partisipasi sekolah yang rendah, sehingga menjadikan perbedaan partisipasi yang tinggi dengan daerah lain. Sekadar  contoh adalah angka partisipasi di Kalimantan Tengah 96,0% sedangkan di Papua 78,1%. Angka ini jelas masih menjadi agenda ke depan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengenyam pendidikan dasar.
Di Indonesia, hanya 67% anak yang mendaftar ke sekolah lanjutan pertama. Ini merupakan tantangan yang besar mengingat pemerintah bertekad mencapai target yang lebih tinggi dari target global MDGs. Target Indonesia adalah ”wajib belajar 9 tahun”, terdiri dari 6 tahun SD dan 3 tahun SMP, sementara target global MDGs yaitu pendidikan setara 6 tahun, dan target pencapaiannya adalah tahun 2008-2009. Apakah sudah berhasil? Perlu evaluasi mendalam.

Angka Putus Sekolah Karena Kemiskinan
Hasil Sesenas yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2007 terhadap sampel rumah tangga menemukan, bahwa 37,2 juta penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Angka ini memberikan arti, pencapaian MDGs Indonesia belum mengalami kemajuan berarti. Untuk mengatasi kemiskinan, target MDGs yang ditetapkan adalah 7,5% berdasarkan separuh angka kemiskinan tahun 1990 yan gberjumlah 15,1%. Sehingga jika dibandingkan dengan tahun 1990, maka kondisi sekarang ini justri lebih parah. Menyusul krisis moneter tahun 1998 kenaikan tajam angka kemiskinan menjadi 24,2%, namun sejak krisis moneter dapat diatasi secara signifikan. Angka kemiskinan di Indonesia mengindikasikan menurun tetapi tahun 2006 menaik lagi akibat banyak faktor diantaranya akibat melonjaknya harga-harga kebutuhan bahan makanan dan bahan bakar minyak.

Tingginya angka kemiskinan tahun 2007 (16,6%) yang lebih tinggi dibanding angka kemiskinan tahun 1990 (15,1%) ini  bersifat nasional. Artinya tidak menggambarkan situasi yang sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hidup di wilayah perkotaan misalnya, membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibanding di pedesaan. Demikian juga hidup di pedesaan yang mudah akses transportasinya lebih tinggi biaya yang dibutuhkan dibanding desa yang belum terakses baik transportasinya. Angka kemiskinan di Jakarta hanya sekitar 4,6%, sementara angka kemiskinan di Papua sekitar 40%.

Mencermati berbagai kecenderungan akhir-akhir ini, seharusnya masih mungkin untuk mengurangi kemiskinan menjadi 7,5% pada 2015. Namun dengan indikator ”rasio kesenjangan kemiskinan (poverty gap ratio)” yang mengukur perbedaan antar penghasilan rata-rata penduduk miskin dengan garis kemiskinan, maka pada tahun 1990 rasio-nya adalah 2,7% dan 2,9% pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa situasi penduduk miskin belum banyak mengalami perubahan. Indikator yang lebih sederhana adalah indikator penyebaran penghasilan. Total jumlah konsumsi penduduk termiskin secara nasional adalah 20% dan hal inipun belum banyak mengalami perubahan, sebab antar tahun 1990 dan 2006, angkanya berada pada sekitar 9%.

Untuk memberikan jalan keluar agar generasi muda memiliki penghasilan yang lebih baik di masa mendatang, maka kunci utamanya adalah memberikan pendidikan yang lebih baik kepada mereka serta diiringi kebijakan pemerintah yang mempertimbangkan dan memastikan tumbunya ekonomi yang bermanfaat pada daerah dan penduduk termiskin. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada kawasan pedesaan, karena sekitar dua pertiga dari rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian. Jika penghasilan orang tuanya yang bekerja di sektor pertanian tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, maka dapat dibayangkan bahwa anak-anaknya pasti tidak memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studinya kejenjang sekolah yang sesuai dengan usianya. Sebab tenaga anak dimanfaatkan oleh orang tuanya untuk membantu orang tuanya bekerja mencari nafkah.

Idealisme Pendidikan
Idealisme pendidikan pada prinsipnya memiliki sasaran dengan program yang jelas dan dapat direalisasi melalui jalur pendidikan formal maupun informal. Realisasi jalur formal maupun informal dalam konteks pendidikan jelas membawa bangsa Indonesia pada arah pemenuhan SDM Indonesia yang mampu didayagunakan. Itu semua dilakukan agar tercapai kompetensi tinggi meliputi  kreatif, inovatif, terampil, cerdas, bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, serta cerdas dan mampu berkompetisi global.

Idealisme pendidikan sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia untuk mengejar segala ketertinggalan diberbagai sektor dengan negara maju lain, termasuk dengan negara tetangga.  Idealisme pendidikan yang dimaksud adalah idealisme pendidikan yang harus mencerminkan tatanan kehidupan masyarakat yang beradap, saling menjaga dan menghormati hak-hak asasi sesama manusia.

Mutu SDM Indonesia dan juga mutu pendidikan di Indonesia sebagaimana terlihat dari indikator makro, yaitu pencapaian Human Development Index (HDI) dan indikator mikro (kemampuan dalam hal membaca dan menulis)  kita  masih berada pada peringkat 110 dari 177 negara di dunia.  Bahkan peringkat tersebut semakin menurun dari tahun-ketahun. Sebagaimana dinyatakan oleh Wika Y. Ilham (2007:1) bahwa berdasarlkana laporan Human Developmen Report tahun 2005 oleh UNDP, HDI  Indonesia kian merosot sejak tahun 1997         (urutan ke 99),  tahun 2002 (urutan ke-102), dan  ditahun 2004 (urutan 111). Dan berdasarkan The World Economic Forum Swedia tahun 2000 daya saing Indonesia menempati urutan ke 37 dari 57 negara di dunia. Sementara itu,  berdasarkan Survei Political and Economic Risk Consultant, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke 12 dari 12 negara di Asia. Ranking ini mengindikasikan bahwa bidang pendidikan di Indonesia masih berpredikat sebagai follower bukan sebagai leader.

Proses pendidikan adalah suatu proses mendidik dan dididik. Ada proses belajar dan pembelajaran, sehingga dalam pendidikan jelas terjadi proses pembentukan manusia yang lebih manusia atau sering disebut proses pemanusiaan. Hal inilah yang menegaskan bahwa pendidikan mempunyai sifat mendasar yang disebut humanism intelectual. Proses mendidik dan dididik merupakan perbuatan yang bersifat mendasar (fundamental), karena di dalamnya terjadi proses dan perbuatan yang mengubah serta menentukan jalan hidup manusia, baik dari sisi pebelajar (peserta didik) dan pembelajar (pendidik). Dalam proses ini seorang pembelajar (pendidik) berarti  orang yang membentuk sikap, kecerdasan dan kepribadian, dan pebelajar (terdidik) adalah seorang yang dibentuk sikap, kecerdasan dan kepribadiannya serta menerima pendidikan untuk tumbuh menjadi manusia seutuhnya.

Banyak idealisme pendidikan yang menjadi pekerjaan rumah kita semua, terutama bagi  presiden sebagai pemangku kebijakan nasional untuk mewujudkan target MDGs pendidikan dasar untuk semua sehingga dapat diwujudkan pada tahun 2015,  antara lain: Agenda penting itu diantaranya;  (1) pendidikan dan kompetensi pendidik,  (2) profesionalisme pendidik, (3) manajemen finansial pendidikan dan manajemen sumber daya manusia, (4) politik pendidikan, (5) paradigma pendidikan, (6) pengembangan organisasi pendidikan, (7) penjaminan kualitas pendidikan, dan (8) pendidikan dan kesetaraan gender.

Usaha yang nampak serius dilakukan pemerintah saat ini adalah meningkatkan kompetensi  pendidik. Dalam Pasal 1 ayat 6 UU SISDIKNAS menjabarkan kualifikasi pendidik adalah guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarkan pendidikan. Sebagai usaha meningkatkan kualitas pendidikan sebagai instrumen mengukur kompetensi guru dan dosen, misalnya,  dikeluarkanlah  undang-undang guru dan dosen yang implementasinya adalah pelaksanaan sertifikasi guru dan sertifikasi dosen.

Dalam konteks profesionalisme pendidik yang terus dibutuhkan, Baedowi (2008) menyebutkan, bahwa pendidik profesional adalah pendidik yang memiliki banyak kemampuan dalam; 1) merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil pembelajaran; 2) meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan; 3) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; 4) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan 5) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Kualifikasi kemampuan guru sebagaimana disebutkan Baedowi (2008) di atas akan menjadi sinergi dan mendukung peran guru sebagai pendidik apabila syarat-syarat sebagai guru profesional yang baik dapat dipenuhi. Bebeberapa syarat profesionalisme diantaranya;  1) berijazah; 2) sehat jasmani dan rohani; 3) taqwa kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik; 4) bertanggungjawab; 5) berjiwa nasional (Ngalim Purwanto (2006:139-142).

Dalam hal manajemen finansial pendidikan, program yang harus terus ditingkatkan dan dijaga kestabilitasiannya adalah bagaiamana mengusahakan segala aktivitas organisasi pendidikan yang dapat terus terpenuhi kebutuhan dananya serta ada kejelasan proses bagaimana memperoleh dana dan mengelola aset sesuai dengan tingkat organisasi pendidikan secara menyeluruh. Oleh karena itu, harus ada manajemen yang dilakukan sekolah melakukan proses kegiatan dan penyelenggaraan pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan secara sungguh-sunggu serta melakukan pembinaan menyeluruh secara kontinyu terhadap biaya operasional sekolah. Sehingga kegiatan pendidikan lebih efektif dan efesien serta membantu pencapaian tujuan pendidikan melalui prosedur manajemen sekolah yang baik,  meliputi;  pengelolaan dana masukan, perencanaan anggaran (budgetting), pelaksanaan proses (throw put), dan hasil usaha (out put).

Terkait dengan manajemen finansial pendidikan adalah manajemen SDM harus menjadi faktor penting dalam suatu organisasi. Menurut Schuler dan Smart (1989) dalam Burhanuddin (2003) menyatakan, bahwa manajemen sumber daya manusia yang harus diperhatikan adalah; 1) perencanaan kebutuhan sumber daya manusia, 2) pengadaan sumber daya manusia dan staf, 3) penilaian dan kompensasi, 4) penilaian dan pengembangan,  dan 5) penciptaan dan pembinaan hubungan kerja yang efektif. Kelima fungsi manajemen SDM ini menjadi usaha sungguh-sungguh bidang personalia yang harus dijalankan secara serius dan dikelola secara efektif dan baik serta prosedural agar mencapai tujuan yang diharapkan.

Dalam hal politik pendidikan terdapat benang merah yang menghubungkan antara politik dengan pendidikan, karena hubungan keduanya bukan sekedar saling mempengaruhi tetapi juga memiliki hubungan fungsional. Lembaga pendidikan menjadi tempat dimana setiapindividu, terutama generasi muda mempelajari sikap dan perasaan tentang sistem politik yang ada dan peran politik yang diharapkan dari mereka.

Bicara politik pendidikan, maka politik pendidikan di Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Hal ini bisa kita lihat dari komitmen pemerintah yang masih harus terus dipompa agar terus meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan, dan MDGs pendidikan untuk semua ini harus menjadi target dan prioritas. Rencana strategis (RENSTRA) pemerintah terhadap pendidikan di tahun 2008-2009 terfokus pada tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu; 1) meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan,  2) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan, dan 3) meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas dan pencitraan publik harus kita monitoring dan evaluasi.

Pertanyaan kita adalah sudah seberapa jauh keberhasilan yang harus dicapai? Jika belum maka harus ada sistem kontrol dan saluran komunikasi yang dapat diakses oleh masyarakat dan sampai kepada pemerintah.

Upaya pemerintah untuk merealisasikan politik pendidikan terus menerus dijalankan, akan tetapi kebijakan dan praktek  pendidikan di lapangan  masih jauh dari yang diinginkan. Data Angka Partisipasi Murni (AMP) tahun 2008 menunjukkan, bahwa AMP tingkat SD/MI mencapai 95%, SMP/MTs sebesar 71,83% sedangkan Angka Partisipasi Kasar (APK) di tingkat SMA/MA/SMK tahun 2006 baru sebesar 55,22%  dan APK Pendidikan Tinggi hanya mencapai 16,70%.  Angka putus sekolah di tingkat SD mencapai 2,9%, angka putus sekolah tingkat SMP 2,42%, SMA 3,06% dan PT 5,9%. Tingginya angka buta huruf masyarakat Indonesia dari tercatat total sebanyak 211.063.000 penduduk 15,4 juta penduduk usia 15 tahun keatas masih buta huruf dengan perbandingan 5,8% laki-laki dan 12,3% perempuan  yang terdistribusi di perkotaan 4,9% dan perdesaan 12,2%. Keadaan ini menggambarkan bahwa realitas politik pendidikan di Indonesia belum merdeka dan tertinggal jauh dari tuntutan daya saing global. Oleh karena itu politik pendidikan kita di masa yang akan datang harus mampu memberikan harapan konkret atas kemajuan bangsa di masa depan.

Paradigma pendidikan di Indonesia harus terus mengedepankan paradigma pendidikan yang baru, sebab paradigma pendidikan lama mengedepankan pendidikan sebagai kebutuhan dan hak dasar manusia, maka paradigma pendidikan yang modern sekarang ini (baru) mengedepankan pendidikan sebagai kebutuhan investasi masa depan seseorang untuk memperoleh kesejahteraan hidup.

Melalui pendidikan masa depan bangsa, dapat dirancang sebaik mungkin dengan cara mempersiapkan SDM yang berkualitas. Dengan dasar ini kita harus berusaha untuk;  pertama, mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggungjawab, berketerampilan serta menguasai IPTEK dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia. Kedua,  meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan IPTEK, seni dan budaya, sehingga membangkitkan semangat pro-aktif, kreatif, dan selalu kreatif dalam seluruh komponen bangsa. Ketiga, mengembangkan pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang dapat mengembangkan harkat dan martabat manusia, dan mempersiapkan manusia menjadi khalifah. Keempat, dalam menyongsong berbagai kecenderungan yang aktual tidak ada alternatif lain selain perlu penataan kembali terhadap dunia pendidikan sejak pendidikan tingkat dasar.

Pendidikan sebagai suatu proses pembentukan pribadi peserta didik dilaksanakan secara sistematis dan sistemik, dan sistematis.  Sebab, sebuah proses pendidikan berlangsung secara bertahap serta berkesinambungan (prosedural) dan sistemik karena berlangsung dalam situasi dankondisi di semua lingkungan baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, tantangan yang harus dikerjakan dalam bidang pendidikan harus diupayakan terutama meningkatkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah serta mendorong masyarakat untuk menyadari sepenuhnya bahwa pendidikan adalah kebutuhan mendasar bagi setiap hidup insani. Jika hal ini berhasil, maka pemerintah melalui kebijakan presiden secara bertahap akan dapat menuntaskan pendidikan untuk semua.

Daftar Pustaka

Burhanuddin. Manajemen Sumber Daya Manusia-Manejemen Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang. 2003.

Baedowi. Strategi Peningkatan Kualitas dan Kompetensi Guru. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. 2008.

Huda, Atok Miftachul.  “Regulasi Collaborative Governance Menuju Pendidikan Yang Berkualitas. Jurnal Ilmiah Bestari UMM edisi nomor 40/Th.XXII, Januari –April 2009.

__________________. ”Sekolah Gratis: Konsep Kebijakan Yang Belum Siap”.  Makalah Seminar. Malang: FKIP  Universitas Muhammadiyah Malang. 2009.

Karwono. ”Perlunya Perubahan Paradigma Tentang Pendidikan”. http://karwono -wordpress.com/2008/09/02/paradigma-baru-tentang-pembelajaran-dan-aplikasinya.  diakses tanggal 20  Pebruari 2009, jam 18.30 WIB.

Purwanto, M. Ngalim.  Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Penerbit. Rosdakarya. 2006.

Sirozi. M. Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Penerbit RajaGrafindo Persada. 2005.

Staker, Peter. ”Kita Suarakan Millennium Development Goals (MDGs) Demi Pencapaian nya di Indonesia”. 2007.

Tinuk, Hariati.  ”Meretas Jalan Menuju Masyarakat Madani Melalui Idealisme Pendidikan”. Makalah Seminar. Malang: MKPP Program Pasca Sarjana  UMM. 2009.

Veithzal Rivai. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.  Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2006.

Wika. Y. Ilham. ”Realita dan Idealisme Pendidikan Nasional”. Online. http://sciantiarum.com/2007/12/10/potret-pendidikan-nasional-realita-dan-idealisme, diakses, 24 Pebruari 2009, jam 19.00 WIB.

Wahab Abdul Aziz. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan. Bandung: Penerbit Alfabeta. 2008.

***http://ejournal.umm.ac.id/


No comments:

Post a Comment

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *